Minggu, 27 November 2016

Oase Iman Buya Yahya

Oleh: Buya Yahya Pengasuh LPD Al-Bahjah www.buyayahya.org www.buyayahya.net www.albahjah.tv Suatu ketika, saat Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain (yang saat itu masih anak-anak) melihat seorang kakek yang sedang berwudhu dengan cara yang salah. Muncullah keinginan dari kedua cucu Rasulullah SAW ini untuk bisa mengingatkan orang tua tersebut, agar amal ibadahnya benar tanpa menyinggung perasaanya. Kemudian Sayyidina Hasan bersepakat dengan Sayyidina Husain untuk berlomba wudhu dan menjadikan sang kakek sebagai juri yang akan menilai kebenaran wudhu mereka. Lomba berwudhu pun dimulai. Dan di akhir perlombaan tersebut, sang kakek pun tersadar bahwa wudhu Sayyidina Hasan dan Husain ternyata lebih benar dan sempurna dari wudhunya sendiri. Ini adalah pelajaran dakwah dari cucu Rasulullah SAW, dengan menyertakan kemuliaan akhlak dan tatakrama dalam mengingatkan orang lain khususnya orang yang lebih tua. Sahabatku, mengingatkan orang lain artinya kita mengajak orang lain agar bisa lebih baik dan benar, bukan untuk menghukuminya sebagai yang salah dan terhinakan. Melihat orang lain dengan penuh kasih sayang dan menghargainya adalah pancaran ketulusan seorang penyeru kebaikan. Dari situlah kejayaan dihadapan Allah SWT akan diperoleh. Pembelajaran ini sangat tepat bagi Juru dakwah termasuk di dalamnya adalah Ustadz dan Kyai. Disaat seseorang menyampaikan kebaikan haruslah ia melihat dirinya sebagai yang membutuhkan pahala dan penghargaan dari Allah SWT dibalik upaya dakwahnya sebelum melihat kepada orang lain sebagai orang yang membutuhkan kepada ajakannya. Makna “membutuhkan” inilah yang menjadikan seseorang tidak kenal putus asa dalam mengenalkan kebaikan kepada orang lain. Hingga ia senantiasa mengambil cara yang paling indah agar ajakannya bisa diterima oleh orang lain sebagai perwujudan makna hikmah yang diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW yang sekaligus harus kita ikuti. Sahabatku, Sayyidina Hasan dan Sayyidia Husain dalam usianya yang masih amat dini ini sangat paham makna hikmah berdakwah, karena mereka adalah cucu dari sumber hikmah, Rasulullah SAW. Beliau berdua tidak ingin menyakiti hati orang tua tersebut dengan “salah menegur” saat sang kakek salah dalam berwudhu. Maka dengan ketulusan dan kerendahan hati, mereka berperan sebagai orang yang ingin benar didalam berwudhu padahal sebenarnya mereka ingin membenarkan wudhu orang lain. “Alangkah mulianya akhlakmu wahai cucu Rasulullah SAW…”. Dan alangkah indahnya siapapun yang ingin mengajak kepada kebaikan lalu mengajak dengan penuh kasih dan ketawadhuan. Sungguh dakwah bukanlah pamer ilmu atau bangga akan sebuah gelar. Akan tetapi dakwah harus berangkat dari keindahan menuju keindahan dan dengan cara yang indah. Dan setelah itu, mari kita bercermin, sadar diri dan mencermati diri dan di sekitar kita! Dimana hikmah dan akhlak kita saat mengajak orang lain kepada kebaikan? Bisakah menuai hasil jika mulut dan lidah kita tidak luput dari kalimat cacian dan penghinaan terhadap orang yang kita anggap salah ? Dimana kasih sayang dan kerinduan kita untuk merindukan orang lain kepada Allah SWT? Jangan sampai ajakan kita kepada Allah berubah menjadi ajakan kepada diri sendiri atau kelompok. Bisakah orang lain rindu kepada Allah jika yang mengajak bukanlah orang yang merindukan Allah SWT? Dari kerinduan kepada Allah inilah akan hadir ajakan yang dirindukan dan penuh kasih untuk menghantarkan hamba-hamba Allah kepada kerinduan kepada Allah SWT yang sesungguhnya.. Wallahu a’lam bisshowab

Sabtu, 26 November 2016

APA ITU MULUKIYYAH?

Baca baik-baik dan perhatikan dengan seksama_ Kaum Mulukiyyah, adalah sekelompok orang yang membangun agamanya berdasarkan kekuasaan. Artinya, mereka patuh dan taat pada rezim penguasa meskipun penguasa itu anti SYARIAT. Tradisi mereka yang sudah lama membudaya adalah, berdalil dengan hadits-hadits tentang wajibnya taat pada pemimpin bla bla bla bla......., dan seterusnya. secara tekstual, hadits-hadits itu memang benar. Tidak ada yang salah dengan hadits-hadits itu. Namun secara kontekstual dalil-dalil itu tidak mereka letakkan pada tempatnya. Contoh sederhana: Mereka menyamakan Presiden dengan Khalifah. secara lisan memang tidak, tetapi sikap di lapangan begitu adanya. Sehingga melahirkan prilaku yang kontradiktif. Mereka menyamakan sistem pemerintahan islami dengan sistem pemerintahan demokrasi. Seakan-akan mereka menyamakan Jokowi dengan Khalifah 'Ali. Ini kan tidak masuk akal namanya. Tapi begitulah doktrin mereka. sehingga memancing respon sejumlah pakar hadits dan tokoh ummat di negeri ini. diantaranya Ustad DR. Anung Al-Hammat,Lc.M.Pd. beliau menulis buku khusus mengkritik tajam pemikiran kelompok mulukiyyah ini. buku itu berjudul "Mewaspadai Pemahaman Neo Murji'ah". Nah berangkat dari itu semua, mereka lemparkan tuduhan "khawarij" kepada setiap muslim yang tidak sependapat dengan faham pemerintah atau yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. itu mereka lakukan diberbagai kesempatan; baik di majelis-majelis taklim mereka, radio-radio mereka, dan media-media dakwah mereka; seperti majalah, buku, dan yang semisalnya. Mereka lontarkan tuduhan "Hizbi", "Khawarij", atau "Ahli Bid'ah" kepada setiap kalangan yang tidak sepemahaman dengan mereka. Kebenaran itu hanya milik mereka, kelompok mereka, ustad mereka, dan radio mereka. Sedangkan selainnya sesat semua. Walhasil, surga itu hanya kavling milik mereka dan kelompoknya saja. Bahasa dan slogan yang sering mereka gunakan misalnya adalah: "ah itu bukan ustad sunnah", "ah itu bukan ustad salaf", dan seterusnya. Nah inilah prilaku Talaf, artinya prilaku yang "merusak". Maka orang-orang yang bermanhaj Mulukiyyah seperti ini sering juga disebut dengan istilah "Talafi". Yang artinya kaum perusak. Merusak apa? Merusak persatuan, merusak kedamaian, merusak persaudaraan dan cinta kasih sesama muslim, merusak hati dan keimanan, dst. Intinya, hampir semua sisi kehidupan ummat mereka rusak dengan DOKTRIN-DOKTRIN, propaganda, dan pembodohan secara massif. Sehingga mereka disebut kelompok 'Talafi' atau 'Talafiyyun'. Artinya, 'Kaum Perusak'. Singkatnya begini, Talaf itu prilakunya. dan Mulukiyyah itu ajarannya atau pola fikirnya. UNIKNYA, prilalu mereka sangat licik dan standar ganda. Ketika mereka di kritik terbuka dan disebut "Mulukiyyah", mereka tidak terima sembari membantah. Mereka tidak terima. Kejang-kejang dan teriak-teriak seperti kuntilak beranak dalam kubur. Tapi pada saat yang sama, lisan mereka begitu tajam menyesatkan orang lain. Mereka begitu gampang memvonis orang lain dengan tuduhan "hizbi", "quthubiy", "takfiri", "khawarij", dan seterusnya. Seolah-olah hanya mereka yang berhak masuk Surga dan menyandang predikat "pengikut salaf sejati", sedangkan selain mereka bukan. Demikianlah ciri utama kelompok MULUKIYYAH itu. Allahul Musta'an.

MANUSIA TERBAGI EMPAT GOLONGAN

Dawuh Syeikh Abdul Qodir al-Jailani Q.S. bahwa manusia itu terbagi atas empat golongan : PERTAMA ; Golongan orang yang tidak mempunyai lisan dan hati. Mereka adalah golongan pelaku ma'siyat juga bodoh, maka berhati hatilah agar engkau tidak menjadi bagian dari mereka, karena mereka ahli adzab. KEDUA ; Golongan orang yang hanya mempunyai lisan namun tidak memiliki hati. Mereka berbicara dan menyampaikan hikmah namun tidak mengamalkannya, mereka mengajak manusia kepada Allah, namun mereka lari menghindar dari Allah. Jauhi mereka, agar engkau tidak terlena oleh lisannya dan kemudian engkau ikut terbakar oleh ma'siyat yang dilakukannya, dan kemudian bau bangkai hati mereka membunuhmu. KETIGA ; Golongan orang yang hanya mempunyai hati namun tak punya lisan. Mereka adalah orang yang beriman yang sengaja Allah menutupi mereka dari pandangan manusia, Allah menganugrahkan mereka hanya melihat pada aib dan kekurangannya, Allah menyinari hati mereka, dan Allah memberitahu mereka akan kerusakan ketika bergaul dengan manusia, dan kerusakan ketika berbicara dengan ucapan yang buruk. Mereka adalah waliyullah, mereka terjaga dalam satar Allah, mereka melaksanakan segala kebaikan, maka carilah mereka , gauli mereka, berkhidmahlah pada mereka, niscaya Allah mencintaimu. KEEMPAT ; Golongan orang yang belajar ilmu dan mengajarkan ilmu serta mengamalkan ilmunya. Mereka adalah al-'aalim billahi, mereka mengetahui Allah dan pada ayat-ayatNya. Allah menitipkan kepada mereka, ilmu yang agung, Allah lapangkan dada/hati mereka untuk menerima berbagai ilmu pengetahuan. Maka hati hati dan waspadalah, jika engkau menyalahi dan menjauhi mereka, serta tidak kembali pada nasihat nasihatnya. 📚Rujukan Kitab : Nashoihul 'Ibad : hal 15 والناس تنقسم الى اربعة اقسام كما قاله سيدى عبد القادر الجيلاني قدس الله سره: رجل لا لسان له ولا قلب، وهو العاصى العر فاحذر ان تكون منهم ولا تقم فيهم فانهم اهل العذاب. ورجل له لسان بلا قلب، فينطق بالحكمة ولا يعمل بها، يدعو الناس الى الله تعالى وهو يفر منه لئلا يخطفك بلذيذ لسانه فتحرقك نار معاصيه ويقتلك نتن قلبه. ورجل له قلب بلا لسان وهو مؤمن ستر الله عن خلقه وبصره بعيوب نفسه ونور قلبه وعرفه غوائل مخالطة الناس وشؤم الكلام، فهذا رجل ولي الله تعالى محفوظ فى ستر الله تعالى، فالخير كل الخير عنده، فدونك ومخالطته وخدمته فيحبك الله تعالى. ورجل تعلم وعلم وعمج بعلمه وهو العالم بالله تعالى وآياته، استودع الله قلبه غرائب علمه وشرح صدره لقبول العلوم، فاحذر ان تخالفه وتجانبه وةرك الرجوع الى نصيحته.

Jumat, 18 November 2016

TABARUK BESERTA RUJUKANNYA.

*Dalil Tentang Bolehnya Bertabaruk* Bertabarruk yang dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah dari sesu atu yang diyakini baik, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.Adakalanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu dengan tujuan mencari barakah.Ada seseorang yang menjalankan bisnis milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari barakah, karena si pemilik modal tiada lain adalah kiai/ustadz/guru agama-nya. Ada juga yang sengaja mencium tangan atau bahkan dada seseorang yang dianggap shaleh maupun `alim dengan tujuan mencari barakah. Atau mendatangi seorang yang shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa kesembuahan dan sebagainya, senuanya itu bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya. Adapun amalan-amalan yang tertera di atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi saw. sebagaimana yang ditulis para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara lain : (1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang disebutkan juga dalam kitab Almathaalibul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatkan dari Ja`far bin Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala Rasulullah saw. berumrah, beliau saw. mencukur rambutnya saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya, mereka berebut rambut Rasulullah saw., kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah saw. ini, maka tidak pernah aku memimpim peperangan kecuali selalu diberi kemenangan oleh Allah. (2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad, meriwayatkan dari Almasur bin Makhramah dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhatikan perilaku para shahabat Nabi SAW., lantas mengkhabarkan kepada kawan-kawannya sesama kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi, tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam menghormati para raja itu, seperti cara para shahabat dalam menghormati Muhammad (SAW.), demi tuhan, setiap Muhammad meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-lebar untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang mendapatkan ludah itu pasti langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad memrintahkan sesuatu, mereka bergegas menjalankannya. Jika Muhammad berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk (bertabarruk) mendapatkan air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahkan suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya. (3). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi saw. datang ke Mina, lantas melaksanakan lempar Jumrah, kemudian mencukur rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk mengumpulkan rambutnya, dan beliau saw. membagikannya kepada masyarakat muslim. (2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang mengatakan bahwa Nabi saw. menyerahkan potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau saw. memerintahkan : Bagikanlah kepada orang-orang. (3). Imam Muslim meriwayatkan juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi saw. beristirahat tidur di rumah kami sehingga beliau saw. berkeringat, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung tetesan keringat Nabi saw., kemudian Nabi saw. terbangun dan bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia lebih harum dari semua jenis parfum. (4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi saw. bersabda : Engkau benar. (5). Imam Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah saw. berhijamah (canthuk), beliau saw. bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawa menjauh dan aku minum, kemudian aku ceritakan kepada beliau saw., maka beliau tertawa. (6). Imam Thabarani juga meriwayatkan hadits penguat, Nabi saw. bersabda : Barangsiapa yang darah (daging)-nya bercampur dengan darahku, maka tidak bakal disentuh api neraka. (7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum) menggantung, lantas beliau saw. meminumnya secara langsung dari bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk bertabarruk dari sisa bekas tempat minum Nabi saw. (8). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits Aldzimaari berkata : Aku menemui Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat Rasulullah dengan tanganmu ini ? Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanlah tanganmu untukku, dan aku akan menciumnya. Kemudian beliau memberikan tangannya kepadaku, dan akupun menciumnya. (HR. Atthabarani). (9). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah, lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurkan tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi saw. dengan kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya. (10). Imam Bukhari meriwayatkan dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluarkan baju jubbahnya Nabi SAW. dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw., yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi saw. mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan (dengan bertabarruk dari air bekas cucian jubbah tersebut). (11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbolehkan amalan mengusap mimbar masjidnya Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan, karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar Nabi saw. tersebut. Masih banyak bukti hadits-hadits Nabi saw. tentang bolehnya bertabarruk kepada barang-barang milik Nabi saw., serta milik orang-orang shalih, dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi saw. dan para wali serta orang-orang shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah karena mempertuhankan barang-barang tersebut, tentunya diharamkan oleh syariat Islam. Termasuk diharamkan juga adalah perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi sesajen kepada tempat-tempat maupun kuburan-kuburan angker yang diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal tempat-tempat tersebut bukanlah tempat yang berbarakah dalam standar syariat Islam. *"SEMOGA BERMANFAAT"*

Kamis, 17 November 2016

HUKUM DALAM ISLAM

"JAWABAN BAGI MEREKA PERTANYAAN SEPUTAR TAHLILAN & HUKUM-HUKUM NYA" Dalam keyakinan para ulama Aswaja, sumber hukum Islam itu ada 4: 1. Nash Alquran 2. Nash Hadits 3. Ijma' Ulama (khususnya para shahabat). 4. Qiyas. Jadi tidak semua amalan umat Islam, khususnya dalam bidang amalan Sunnah itu, harus ada dalil Qath'i dari Alquran atau Hadits (apalagi contoh langsung dari Nabi S.A.W). Karena Alquran dan Hadits juga sudah membuka lebar pintu Ijtihad bagi para ulama yg kompenten di bidangnya, hingga dapat dijadikan rujukan umat Islam. فاسألوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون Tanyalah kepada ahi ilmu (ulama) jika kalian tidak memahaminya. العلماء ورثة الانبياء Ulama itu adalah pewaris para nabi Masih banyak dalil tentang bolehnya umat Islam mengikuti ijtihad para ulama. Tahlilan dengan cara "MENGISLAMKAN ADAT" termasuk dari hasil ijtihad serta qiyas yg dilakukan oleh para ulama jaman dahulu kala (Salaf). Ini juga termasuk mencontoh Nabi Muhammad SAW saat 'MENGISLAMKAN ADAT YAHUDI' yang selalu berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram), namun dg dirobah menjadi puasa sunnah setiap tgl 9-10 atau 10-11 Muharram, lantas diqiyaskan dengan pelaksanaan Tahlilan. Bahkan Nabi S.A.W bersabda: اقرؤوا يس على موتاكم Bacakan surat Yasin untuk mayit kalian. Berikut cacatan tentang bolehnya berijtihad dengan syarat-syarat tertentu sesuai yang ditulis oleh KH. Luthfi Bashori sebagai berikut: BOLEH BERIJTIHAD ASALKAN... ! Luthfi Bashori Sy. Muadz bin Jabal RA mengisahkan, ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman beiau SAW bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan jika dihadapkan kepadamu suatu masalah?” Sy. Muadz bin Jabal RA menjawab, “Aku pututskan dengan hukum yang ada di Al-Quran.” “Jika tidak ada hukumnya di dalam Al-Qur’an?” tanya Nabi SAW. Sy. Muadz katakan, “Aku putuskan berdasrkan Sunnah Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW bertanya kembali, “Jika tidak hukum-Nya dalam As-sunnah?” “Aku akan berijtihad dengan pendapatku,” tegas Sy. Muadz bin Jabal Ra. Nabi Muhammad SAW menepuk dadanya. “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul-Nya, demi keridhaan Allah dan Rasulu-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi) Menurut para ulama, tidak semua orang dibenarkan melakukan ijtihad. Seseorang yang melakukan ijtihad haruslah memiliki banyak persyaratan pokok, antara lain: 1. Memahami dengan sungguh-sungguh tafsir ayat-ayat Al-Quran dengan asbabun nuzulnya (yakni sebab-sebab turunnya Al-Quran), ayat-ayat nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapus), dan gharaibul Quran. 2. Memahami hadits dan asbabul wurudnya (sebab-sebab munculnya hadits). Nasikh mansukhnya, serta delik ilmu musthalah haditsnya. 3. Menguasai bahasa Arab, baik grametikal maupun conversationnya dan seluruh cabang nahwu maupun dialegnya. 4. Mengetahui tempat-tempat hasil ijma’ para shahabat serta para ulama salaf ahli ijtihad sebelumnya. 5. Memahami ushul fiqih secara detil. 6. Memahami maksud-maksud syariat (maqashidus syariah) 7. Memahami masyarakat dan adat-istiadatnya sebagai obyek ijtihadnya. 8. Secara pribadi mempunyai sifat adil dan taqwa, menurut setandar para ulama. 9. Mengusai ilmu ushuluddin/ tauhid/ aqidah (salah satu cabang dari ilmu-ilmu keislaman yang membahas pokok-pokok keyakinan dalam Islam. 10. Memahami ilmu mantik (logika) yang rasional. 11. Meguasai cabang-cabang ilmu fiqih. 12. Dan sebagainya. Jika persyaratan di atas ini belum terpenuhi, maka haram bagi seseorang untuk berijtihad dalam urusan bersyariat, namun kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti hasil ijtihad para ulama terdahulu, yang mana mereka telah menyusun kitab-kitab fiqh untuk memudahkan umat Islam yang belum mampu berijtihad dalam melaksakan kewajiban bersyariat. Adapun dewasa ini, hasil ijtihad para ulama Salaf yang diakui keabsahannya dan kevalidannya oleh dunia Islam itu ada pada empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Maka jika ada madzhab lain yang dimunculkan selain dari empat madzhab ini, maka dihukumi sebagai madzhab yang syadz atau menyimpang. Sedangkan para ulama yang hidup di jaman sekarang dan memenuhi syarat ijtidah, sekalipun belum sampai pada standar keilmuan para mujtahid mutlaq (setara Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal) jika mereka berijtihad terhadap suatu permasalahan keumatan yang sedang berkembang, maka dapat dibenarkan selagi tidak keluar dari koridor aturan dari salah satu empat madzhab di atas, maka hasil ijtihadnya itu dapat dicetuskan dalam bentuk fatwa. SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 13 November 2016

BERSALAMAN

ASWAJA ITU APA?

SIAPA ITU SYEIKH ALBANI

ILMU

Ilmu adalah seluruh wahyu yg diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Ilmu berbeda dgn pengetahuan, pengetahuan bisa berubah sesuai dgn suasana dan keadaan, tetapi ilmu tdk akan pernah berubah walaupun suasana dan keadaan berubah. Pengetahuan adalah seni; seni kedokteran, seni pertanian, seni perdagangan dsb. Abdullah bin umar ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, Ilmu ada tiga, selain dari ketiga itu adalah tambahan, yaitu; 1. ayat ayat muhkamat (ayat al Qur'an yg telah jelas ketetapannya) 2. sunnah yg tegak (hadits Nabi SAW yg tsabit dgn sanad yg shahih), 3. kewajiban yg tegak (hukum-hukum yg berasal dari al Quran dan hadits, berupa ijtihad, ijma' atau qiyas). (Hr. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim- Kanzul Ummal) Manfaat ilmu yg paling utama adalah menimbulkan kemampuan utk melihat kebaikan org lain. Apabila seseorang mengukur org lain dgn ilmunya, berarti dia masih memiliki sifat sombong dan ilmu yg diperolehnya sia-sia. Niat menuntut ilmu utk memperbaiki amal diri sendiri, bukan utk memperbaiki amal org lain. Semakin pandai seseorang, merasa semakin bodoh dan merasa banyak yg tdk diketahuinya. Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa yg berkata, sesungguhnya aku org yg berilmu, maka dia adalah org yg jahil. (Hr. Thabrani) Ilmu yg mendatangkan rasa takut dan harap hanya kepada Allah SWT. Tanpa rasa takut kepada Allah SWT, seseorang tdk akan taat kepada-Nya. Firman Allah; Sesungguhnya Yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya, hanyalah ulama. (Qs. Faathir: 28) Yg dimaksud dgn rasa takut adalah mengamalkan ilmu yg dianugrahkan oleh Allah SWT utk memperhambakan diri hanya kepadaNya sebagai ciri-ciri org berilmu. Bersedia semua menuntut ilmu. Insya Allah...........

AL BAHJAH TV

Hidupkan Malam Hari Raya

Wasiat KH. Abdul Karim Lirboyo: Hidupkan Malam Hari Raya! @suara_nahdliyyin Berikut ini amalan pada malam Hari Raya (Idul Adlha dan Idul Fitri), seperti disebut dalam kitab Kanzun Najah Was Surur, karya Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dan riwayat dawuh Syaikh Abdul Karim Lirboyo (Mbah Manab) oleh Syaikhina KH.Maimoen Zubair. Nabi Muhammad SAW bersabda: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط. Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah SAW bersabda: Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati. HR.Thobaroni عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi SAW, bersabda: Barangsiapa menegakkan dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap ALLOOH, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. HR. Ibnu Majah. Bagaimana cara menghidupkan/ menegakkan dua Hari Raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan: 1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau memperbanyak sholat sunnah dan bacaan2 dzikir. 2. Syaikh Al Wanna’i dalam risalahnya: Barangsiapa membaca istighfar seratus kali (100×) setelah Sholat Shubuh di pagi Hari Raya, maka akan dihapus dosa-dosanya di dalam buku catatannya, dan pada hari kiamat akan aman dari siksa. 3. Masih dari Syaikh Al Wanna’i: Barangsiapa membaca , سبحان الله وبحمده subhaanaLLooh wabihamdihi 100× pada Hari Raya, dan menghadiahkan pahalanya untuk ahli kubur, maka para ahli kubur berkata,”Wahai Dzat Yang Maha Penyayang, rahmatilah ia, dan jadikanlah ia ahli surga”. 4. Syaikh Al Fasyni berkata dalam Tuhfatul Ikhwan: Dari Sahabat Annas, dari Kanjeng Nabi SAW, dawuh (yg artinya): Hiasilah dua Hari Raya dengan tahlil, taqdis, tahmkd dan takbir”. Nabi juga dawuh: Barangsiapa yang membaca: سبحان الله وبحمده SubhaanaLLooh wabihamdihi 300× dan ia menghadiahkan untuk muslimin yg sudah wafat, maka seribu cahaya akan masuk di setiap kuburan, dan Gusti Allooh akan memasukkan seribu cahaya ke kuburnya jika ia meninggal. 5. Syaikh Az Zuhri berkata: Sahabat Anas r.a. berkata, Nabi SAW dawuh (yg artinya): Barangsiapa di dua Hari Raya mengucapkan: لا اله الا الله وحده لا شريك له، له الملك و له الحمد يحي و يميت و هو حي لا يموت بيده الخير وهو على كل شيئ قدير sebanyak 400× sebelum Sholat ‘Ied, maka Gusti Allooh SWT akan menikahkannya dg 400 bidadari, seakan memerdekakan 400 budak, dan Gusti Allooh SWT mewakilkan para malaikat untuk membangun kota-kota dan menanam pohon-pohon untuknya di hari kiamat. Beliau Syaikh Az Zuhri berkata: “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Sahabat Anas r.a. Dan Anas r.a. dahulu jg berkata: “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Nabi SAW.” Wasiat KH. Abdul Karim Lirboyo Diriwayatkan dari Syaikhina Wa Murobbi Ruuhina KH.Maimoen Zubair, dari Syaikh Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, beliau dawuh: “Sak makendut-makendute santri ojo nganti ora ngurip-urip malem rioyo loro, kanthi sholat ba’diyah Isya’ rong rakaat ditambah sholat witir sak rakaat”. Artinya: “Senakal-nakalnya santri jangan sampai tidak menghidupkan dua malam hari raya (Idul Fithri dan Idul Adlha) dengan melaksanakan sholat sunah minimal dua rokaat setelah Isya’ dan satu rokaat witir” WaLLoohu A’lam Bishshowaab….

Sabtu, 12 November 2016

DALIL YASINAN

YASINAN... 🍃Bacakanlah surat Yasin terhadap orang-orang mati di antara kalian قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "اقرءوها على موتاكم" يعني يس 🌹Rasullullah ﷺ Bersabda: Bacakanlah surat tersebut terhadap orang-orang yang mati di antara kalian." Yaitu surat yasin" (Hr.Ahmad) ورواه أبو داود ، والنسائي في " اليوم والليلة " وابن ماجه من حديث عبد الله بن المبارك ، به إلا أن في رواية النسائي : عن أبي عثمان ، عن معقل بن يسار . 📜Hadis tersebut juga di riwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa'i di dalam kitab Al-Yaum walLaila, dan juga Ibnu Majah melalui hadis Abdullah bin Mubarak dengan sanad yang sama, hanya di dalam riwayat Imam Nasa'i disebutkan dari Abu Usman dari Ma'qal bin Yasar. 📚Di kutib dari Tafsir Ibnu Katsir Surat Yasin. 📥 DOWNLOAD scan kitabnya 👇 https://goo.gl/GJPQ5G 🌴Keterangan tambahan : Hadis tersebut Sahih menurut Al- Hafidz ibnu Hibban dan Al-Hafidz Al-Hakim, dan Al-Hafidz imam Abu Daud tidak mendhaifkanya. 👇 ٤٠٢٦ - عن معقل بن يسار أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: " اقرءوا على موتاكم يس ". (بلوغ المرام ١٠٧/١) ** قال الحافظ فى " البلوغ " ١ / ١٠٧: صححه ابن حبان. ** قال الإمام النووى فى " الأذكار " ١ / ١٢٢: فيه مجهولان لكن لم يضعفه أبو داود. ** تعقيب: قال عبد القادر الأرناؤوط ١ / ١٢٢: قال ابن علان فى شرح الأذكار قال الحافظ: وأما الحاكم فتساهل فى تصحيحه لكونه من فضائل الأعمال وعلى هذا يحمل سكوت أبو داود والعلم عند الله. قال الحافظ: ووجدت لحديث معقل شاهدا عن صفوان بن عمرو عن المشيخة أنهم حضروا غضيف بن الحارث حين اشتد سوقه فقال هل فيكم أحد يقرأ يس؟ قال: فقرأها. والله أعلم........

KAJIAN RINGAN KULLU BIDAH

Oleh Von Edison Alousci Saya mau mengajak anda semua memahami bagaimana cara memahami makna bidah sebenarnya krn kesalahpahaman inilah yg membuat tetangga sebelah membuat aturan baru bahwa segala amal perbuatan di ukur ada bidahnya atau tdk. . Perbuatan mereka ini justru aktipitas bidah sesat krn mengacaukan pemahaman umat. . Mari simak bahasan sederhana sbb : . Perhatikan kalimat ini : ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻭﻛﻞ ﺿﻼﻟﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ Jika di cermati ada 2 muqaddimah. . 1. kullu bid'atin dolalatun 2.wakullu dolalatin finnar. Seandainya muqaddam dan ta'ali nya Dilakukan penggabungan pd beberapa fashalnya,maka bakal muncul Satu natijah. Perhatikan : Kullu bid'atin dholalalah, wakullu dholalatin finnar. Kalau dibuang mahmul pada muqaddimah sughronya kemudian buang mudhaf maudhu pada muqaddimah kubranya..lantas kita gabungkan keduanya maka menjadi 1 qadiyah saja. Al hasil kalimat itu menjadi. ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ Kullu bid'atin dholalatin finnar. Setiap bid'ah yang sesat, tempat nya di neraka. Nah..Mafhum muwafaqahnya adalah jelas kalau pelaku bid'ah yang di maksud Nabi adalah perbuatan yg menyimpang dari syariat semisal mencuri,menipu,membunuh yg bukan haknya,korupsi,berjudi,zinah,seingkuh..pkoknya yg merugikan umat alias amal perbuatan yg tdk ada label halalnya. Sementara mafhum mukhalafahnya sudah pasti Pelaku yang mengerjakan Bid'ah yang hasanah itu tidak masuk neraka dan malah dberi pahala Sebab ada hadist yg menjelaskan bahwa setiap perbuatan baik walau tdk ada contohnya boleh boleh saja. . Kalo tdk di pahami begitu maka akan ada dua hadits yg bertentangan. Dan tdk mungkin Nabi plin plan mau membingungkan umat.iya kan ? . perhatikab hadits yg terlihat berlawanan dgn hadits bidah padahal sebenarnya nabi menjelaskan maksud bidah itu sendiri : .. Sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲْ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲْ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ ‏(ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ) Perhatikan artinya : “Barang siapa MERINTIS dalam agama Islam perbuatan yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. . Dan barang siapa MERINTIS dalam Islam perbuatan yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa daru Orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim) . Nah karena itu itulah al-Imam asy-Syafi’i berkata: ﺍَﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﺑِﺪْﻋَﺘَﺎﻥِ : ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩَﺓٌ ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٌ، ﻓَﻤَﺎ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟﺴُّـﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩٌ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﺎﻟَﻔَﻬَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻡٌ . “Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari) . Yang mengaku bermadzab terutama madzab safii harus mempercayai Imam safii jk tdk maka ia bukan madzab safii tetapi madzab muhammad bin abdul wahab nejed alias madzab bodong yg tdk di akui mayoritas umat islam. Intaha. . Sebarkan . . Rosululloh SAW bersabda yang artinya: . “Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya.” (HR. Imam Muslim).

DALIL TAHLILAN 7-40-100-1000

Ketika mengomentari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini : عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]). Ibnu hajar menyatakan.. وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحه والمداومه على ذلك وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثه ليس على التحريم “Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin. Hadits ini juga mengandung dalil, bahwa larangan berziarah ke selain Masjid yang tiga, bukan larangan yang diharamkan.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).

MELURUSKAN SHOF DALAM SHOLAT YG BENAR

KAJIAN TENTANG CARA MELURUSKAN SHOF DALAM SHOLAT; MENEMPELKAH? Bukan hal yg aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”. Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yg suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain? Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yg mengalami dipepet-pepet seperti itu. Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat, ”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.” Beberapa hari yg lalu sy ditanya seseorang tentang hadits keharusan mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yg disinyalir menjadi pijakan teman2 yg beranggapan bahwa kaki harus benar2 nempel dengan kaki jamaah lain. Masalah ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab2 para ulama yg mu'tamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama dalam hal ini. A. Nash Hadits Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan hadits2 yg shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan. Namun kalau kita teliti di hulunya, rata2 semuanya kembali kepada dua di level shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma. Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yg shahih. Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan? Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini. Sebab kajian yg ilmiyah adalah kajian yg berciri hati2 dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa para ulama. 1. Hadits Riwayat Anas bin Malik حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ» Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallallah alaih wa sallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yg menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari) Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab As-Shahih, pada , hal. 1/146. Catatan Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki. 2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 diantara kami ada yg menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya. (HR. Bukhari) Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yg sama dengan hadits di atas. Catatan Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu. Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits2 ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378, Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28, Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123] Catatan Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu melihat seorang laki2 yg menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya. B. Kajian dan Pembahasan Hadits Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini. Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yg cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yg melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini. 1. Syeikh Bakr Abu Zaid : Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yg pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul (tidak ada yg baru dalam hukum shalat), hal. 13. Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani : وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذر والتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر. Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yg nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yg mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yg susah dilakukan. Bakr Abu Zaid melanjutkan: فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela2. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela2, istiqamah dalam shaf, bukan benar2 menempelkan. Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar2 menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf. 2. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Mari kita telusuri lagi pendapat yg lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki. أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة. Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar2 lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat. Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311 Ternyata Shaleh Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar2 lurus. Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya. 4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yg menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan: حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام. Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yg dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. (Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.) Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki. Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H). Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan: الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211] Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya. C. Point-Point Penting Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf. Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi atau bentuk perintah yang secara nash beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka? Dan nyatanya tidak ada ucapan seperti itu. 1. Menempelkan mata kaki dalam shaf bukan tindakan atau anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud? Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yg benar terhadap hadits shahih. Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ Tegakkah barisan kalian Itu yang beliau Shallahu 'alaihi wa sallam katakan. Sama sekali beliau tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yg tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat2 Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid2 pendukungnya saja. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu. 2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan: [وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki Meskipun dengan redaksi yg berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yg melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf. Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan: ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. (Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99) Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki2 pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits? 3. Anas tidak melakukan hal itu Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yg mereka lihat. Kenapa? Karena yang melakukannya bukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. Dan para shahabat yg lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim. Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik: وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yg lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211] Jika menempelkan mata kaki itu sungguh2 anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yg shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya. Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini. 4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah? Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yg dilakukan di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang beliau diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga. Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu. Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yg dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yg tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat2 Allah. Ini adalah sebuah fatwa yg agak emosional dan memaksakan diri. Dan yg pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yg pernah mendukungnya. Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara2 ada shahabat makan daging dhob (biawak), dan kebetulan memang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering2 makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat2 Allah. 5. Susah Dalam Prakteknya Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yg bisa mempraktekannya. Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf. D. Kesimpulan Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat? Ada dua pendapat; pertama yg mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan dia mengatakan bahwa yg mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah. Pendapat kedua, yg mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jika pun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid. Sampai saat ini belum ditemukan pendapat ulama madzhab empat yg mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat. Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik. Wallahu a’lam Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskam dan semoga bermanfa’at. Aamiin والله الموفق الى اقوم الطري

PENCETUS MAULID NABI

Al Hafidz al-Dzahabi menyatakan... Orang yang pertama kali melakukan Maulid adalah penguasa Irbil, Raja al Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin (549-630 H, IPAR SULTAN SHALAHUDDIN), salah seorang raja yang agung, besar dan mulia. Ia memiliki riwayat hidup yang baik. Dan dia telah memakmurkan masjid Jami' al Mudzaffari di Safah Qasiyun. Bahkan al Dzahabi berkata: "Ia raja yang rendah diri, baik, Sunni (pengikut Ahlisunnah wal Jama'ah) dan mencintai ulama fikih dan ahli hadis" (Siyar A'lam an Nubala', XXII/336) Begitu juga Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam kitab Tarikh-nya, bahwa Malik al Mudzaffar _IPAR SULTAN SHALAHUDDIN_ mengamalkan maulid Nabi di bulan Rabi'ul Awal dan melakukan perayaan yang besar. Dia adalah cerdas hatinya, pemberani, tangguh, cerdas akalnya, pandai dan adil. Semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya.

MENG ADA-ADA DALAM IBADAH

KAJIAN TENTANG MELAKUKAN AMALAN YANG TIDAK ADA PERINTAH DAN LARANGAN, BOLEHKAH? Ada ungkapan kaidah fiqhiyah yg dijadikan hujjah andalan salafi wahabi terkait amalan yg tidak ada perintahnya itu adalah amalan bid’ah dan haram dilakukan sbb: قاعدة: الأصل في العبادات التحريم. فلا يجوز للإنسان أن يتعبد لله -عز وجل- بعبادة، إلا إذا ورد دليل من الشارع بكون تلك العبادة مشروعة Kaidah : Hukum asal ibadah adalah haram, tidak dibolehkan bagi manusia jika beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla sampai adanya dalil yg memerintahkan itu ibadah sebagai ibadah yg disyare’atkan. Benarkah demikian? Imam Syafi’i berkata mengenai kaidah asal satu ibadah, اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف “Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil yg membolehkan atau melarangnya).” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata, أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف “Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80). Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata, لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ “Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaidah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam. Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan, الأصل في العبادات التوقيف “Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil).” Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syar’iyah, أَنَّ الْأَعْمَالَ الدِّينِيَّةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَّخَذَ شَيْءٌ سَبَبًا إلَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوعَةً فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ مَبْنَاهَا عَلَى التَّوْقِيفِ “Sesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil.” Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya- berkata, إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ “Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17) Setelah memperhatikan pandangan dan pendapat para ulama diatas tentunya kita memahami bahwa ternyata amalan ibadah itu tawqif, artinya belum diketahui apakah amalan tersebut itu wajib, haram, sunah atau mubah? Untuk mengetahui sebuah ibadah itu wajib, haram, sunah atau mubah semua bermuara pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yg tentunya dalam memahaminya harus mengikuti penjelasan para ulama. Jadi tidak segitu mudahnya kita menghukumi suatu amalan itu bid’ah, salah dan harus dijauhi manakala belum adanya larangan dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr : 7) عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa saja yg aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yg aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yg membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka'." [HR. Bukhâri dan Muslim]. Hadits di atas dengan redaksi seperti itu diriwayatkan oleh Muslim dan ath-Thahâwi [Kitab Musykîlul-Âtsâr, no. 548] dari riwayat az-Zuhri dan Sa'îd bin al-Musayyib dan Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Hadits di atas juga diriwayatkan dari beberapa jalan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan lafazh: ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ سُؤَالُهُمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَاءِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. “Biarkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan pada kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa oleh pertanyaan dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jika aku melarang sesuatu terhadap kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian.” Dalam riwayat lain disebutkan latar belakang hadits di atas dari riwayat Muhammad bin Ziyâd dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami, kemudian beliau bersabda: أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَسَكَتَ. حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لَوْ قُلْتُ : نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ. "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah". Seseorang berkata, ‘Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?’ Maka beliau diam hingga orang tersebut mengulanginya sampai tiga kali, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kalau aku katakan ya, niscaya hal tersebut menjadi wajib, dan niscaya kalian tidak akan sanggup," kemudian beliau bersabda, "Biarkanlah aku terhadap apa yg aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang2 sebelum kalian binasa karena pertanyaan dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakan semampu kalian. Dan jika aku melarang sesuatu pada kalian, tinggalkanlah". [HR Muslim, no. 1337. An-Nasâ`i, V/110, 111. Ahmad, II/508. Al-Baihaqi, VI/326. Ibnu Khuzaimah, no. 2508. Ath-Thahâwi dalam Musykîlul-Âtsâr, no. 1472. Ibnu Hibbân, no. 3696, 3697 – at-Ta’lîqâtul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibban. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Kitâbus-Sunnah, no. 110, Tahqîq: Syaikh Salim al-Hilali. Ad-Dâraquthni, II/534, no. 2668 dan II/535, no. 2670, dan Ibnu Jarir dalam Jâmi’ul-Bayân, no. 12808] Hadits tersebut dari jalur lain diriwayatkan ad-Dâruquthni, Ibnu Hibbân, dan Ibnu Khuzaimah, di dalamnya disebutkan, "Kemudian turunlah firman Allah Ta'ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.' [QS. Al-Mâidah: 101]. Diriwayatkan dari jalur lain bahwa ayat di atas turun setelah para sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang haji, "Apakah haji itu setiap tahun?" Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata,"Rasulullah berkhutbah kepada kami kemudian seseorang bertanya, 'Siapa ayahku?' Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Si Fulan.' Setelah itu turunlah ayat di atas." [HR al-Bukhâri, no. 4621, dan Muslim, no. 2359] Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim juga disebutkan hadits dari Qatâdah, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Orang2 bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mereka menekan beliau dalam pertanyaan mereka. Beliau marah kemudian naik mimbar dan bersabda, “Pada hari ini, tidaklah kalian menanyakan suatu apa pun kepadaku, melainkan aku akan menjelaskannya,” Seseorang yg jika berdebat dengan orang2, ia dipanggil dengan nama selain nama ayahnya sendiri lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, siapa ayahku?' Nabi bersabda, “Ayahmu ialah Hudzafah.” Umar bin al-Khaththaab bangkit lalu berkata, 'Kami ridho Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan berbagai fitnah.' Dan Qatâdah ketika menyebutkan hadits di atas, ia membaca firman Allah Ta'ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.'[QS. Al-Mâ-idah : 101]. [HR al-Bukhâri, no. 6362, 7089, 7294. Muslim, 2359 (137), dan Ibnu Jarîr ath-Thabari, no. 12799] Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan juga hadits dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Satu kaum bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud mengejek. Salah seorang dari mereka berkata, 'Siapa ayahku?' Orang yg untanya tersesat berkata, 'Di mana untaku?' Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian'." [QS. Al-Mâ-idah: 101]. [HR al-Bukhâri, no. 4622, dan Ibnu Jarîr ath-Thabari, no. 12798] Hadits2 diatas juga melarang kaum Muslimin menanyakan banyak hal tentang halal dan haram, boleh atau tidaknya suatu amalan atau suatu hal, karena jawabannya dikhawatirkan menjadi turunnya perintah keras di dalamnya, misalnya bertanya tentang haji, apakah haji wajib setiap tahun atau tidak. Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqâsh bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ. Sesungguhnya kaum Muslimin yg paling besar dosanya ialah orang yg menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian sesuatu tersebut diharamkan dengan sebab pertanyaannya itu. [HR al-Bukhâri, no. 7289. Muslim, no. 2358. Ahmad, I/176, 179. Abu Dâwud, no. 4610, dan Ibnu Hibbân, no. 110] Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang li'an (suami-istri saling melaknat dengan sebab tuduhan berzina), (lihat an-Nûr/24 ayat 6-9) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka dengan pertanyaan seperti itu hingga penanya mendapatkan musibah karenanya sebelum menjatuhkannya pada istrinya. [Musnad al-Imam Ahmad, II/19, 42. Shahîh Muslim, no. 1493. Sunan at-Tirmidzi, no. 1202, dan Shahîh Ibni Hibban, no. 4272] Seseorang bertanya kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma tentang mengusap Hajar Aswad. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang tersebut, "Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Hajar Aswad dan menciumnya." Orang tersebut berkata, ‘Bagaimana pendapatmu kalau aku tidak bisa melakukannya?, Bagaimana pendapatmu kalau aku didesak?’ Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang tersebut: "Letakkan kata-kata 'bagaimana pendapatmu' di Yaman. Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Hajar Aswad dan menciumnya”. [HR at-Tirmidzi, no. 861. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhâri, no. 1611, dan an-Nasâ`i, V/230-231] Maksud perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ialah hendaklah engkau hanya mempunyai semangat untuk mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak usah memperkirakan tidak akan mampu melakukannya atau mempersulitnya sebelum terjadi karena hal tersebut melemahkan semangat untuk mengikuti beliau. Sebab, mempelajari agama dan bertanya tentang ilmu itu akan dipuji jika untuk diamalkan, dan bukannya untuk perdebatan. عن أبي ثعلبة الخشني جرثوم بن ناشر – رضي الله عنه – عن رسول الله صلى الله علية وسلم قال : " إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيعوها،وحد حدودا فلا تعتدوها، وحرم أشياء فلا تنتهكوها ، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها ". حديث حسن رواه الدارقطني وغيره Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya”. (HR. Daraquthni dalam Sunannya no. 4/184 hadits hasan, dalam Arbain Nawawi hadits yg ke-30) Diantara pertanyaan2 yg dilarang dan dapat membinasakan ialah sebagai berikut. 1. Bertanya tentang hal2 yg didiamkan oleh syariat (tidak ada dalil perintah dan larangan) dan tidak dijelaskannya, karena Allah Ta’ala yg berhak menjelaskan hal2 yg membuat manusia bahagia di dunia dan akhirat. Dan Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia mendiamkan beberapa perkara adalah sebagai rahmat dan bukan karena Allah lupa menjelaskannya, dan kita dilarang membicarakannya/memperdebatkannya. 2. Bertanya tentang hal2 yg tidak ada manfa’atnya dan tidak adanya kebutuhan. Karena, bisa jadi jawabannya tersebut akan berakibat buruk kepada orang yg bertanya. 3. Bertanya dengan tujuan untuk menghina, mengejek, memperolok-olok, dan kesia-siaan. 4. Banyak bertanya mengenai masalah2 yg belum terjadi. 5. Bertanya dengan pertanyaan yg bersifat memaksa, menyusahkan, dan mengada-ada. Sebab, terkadang jawabannya akan banyak sehingga sulit untuk mengamalkannya, sebagaimana yg terjadi pada Bani Israil ketika mereka disuruh untuk menyembelih seekor sapi betina. 6. Bertanya tentang hal2 yg Allah Ta’ala sembunyikan dari para hamba-Nya dengan sebab adanya hikmah yg hanya diketahui oleh Allah Ta’ala saja, contohnya bertanya tentang rahasia takdir, waktu terjadinya hari Kiamat, hakikat ruh, dan yg sepertinya. Adapun selain itu, maka bertanya tersebut dituntut menurut syariat. Allah Ta’ala berfirman: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. An-Nahl : 43]. Kesimpulannya, barang siapa mengerjakan apa saja yg diperintahkan Allah Ta’ala dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjauhi apa saja yg dilarang, dan tidak mempermasalahkan perkara atau amalan yg tidak ada perintah dan larangannya baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak membicarakannya atau memperdebatkannya sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits2 diatas, maka isya Allah akan selamat di dunia dan akhirat. Ingatlah bahwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas bahwa “Allah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya.” Wallahu a’lam bis-Shawab Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin والله الموفق الى اقوم الطر

MAULUD NABI DAN TUJUKAN NYA

HADITS-HADITS MAULID NABI Bismillah, Inilah diantara riwayat-riwayat hadits Maulid Nabi untuk membesarkan atau mengagungkan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. 1. Abu Bakar ash-Shiddiq Telah berkata Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq: “Barangsiapa yang menafkahkan satu dirham bagi menggalakkan bacaan Maulid Nabi saw., maka ia akan menjadi temanku di dalam syurga.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 2. Umar bin Khottob al-Furqon Telah berkata Sayyidina ‘Umar: “Siapa yang membesarkan (memuliakan) majlis maulid Nabi saw. maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 3. Utsman bin ‘Affan Dzun-Nuraini Telah berkata Sayyidina Utsman: “Siapa yang menafkahkan satu dirham untuk majlis membaca maulid Nabi saw. maka seolah-olah ia menyaksikan peperangan Badar dan Hunain” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 4. Ali bin Abi Tholib Karomallahu wajhah Telah berkata ‘Ali : “Siapa yang membesarkan majlis maulid Nabi saw. dan karenanya diadakan majlis membaca maulid, maka dia tidak akan keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan masuk ke dalam syurga tanpa hisab”. * (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 5. Syekh Hasan al-Bashri Telah berkata Hasan Al-Bashri: “Aku suka seandainya aku mempunyai emas setinggi gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk membaca maulid Nabi saw.* (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 6. Syekh Junaid al-Baghdady Telah berkata Junaid Al-Baghdadi semoga Allah mensucikan rahasianya: “Siapa yang menghadiri majlis maulid Nabi saw. dan membesarkan kedudukannya, maka sesungguhnya ia telah mencapai kekuatan iman”.* (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 7. Syekh Ma’ruf al-Karkhy Telah berkata Ma’ruf Al-Karkhi: “Siapa yang menyediakan makanan untuk majlis membaca maulid Nabi saw. mengumpulkan saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang bau yang wangi dan memakai wangi-wangian karena membesarkan kelahiran Nabi saw, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama kumpulan yang pertama di kalangan nabi-nabi dan dia berada di syurga yang teratas (Illiyyin)” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 8. Fakhruddin ar-Rozi Telah berkata seorang yang unggul pada zamannya, Imam Fakhruddin Al-Razi: “Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi saw* ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan zahir keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka makanan tersebut akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah mengampunkan orang yang memakannya”. “Sekirannya dibacakan maulid Nabi saw. ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki, penyakit dan tidak mati hati tersebut pada hari dimatikan hati-hati”. “Siapa yang membaca maulid Nabi saw. pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut keberkatan, pemiliknya tidak akan fakir dan tidak akan kosong tangannya dengan keberkatan Nabi saw.”* (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 9. Imam as-Syafii Telah berkata Imam Asy-Syafi’i: “Siapa yang menghimpunkan saudaranya (sesama Islam) untuk mengadakan majlis maulid Nabi saw., menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan, dan dia menjadi sebab dibaca maulid Nabi saw. itu, maka dia akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat bersama ahli siddiqin (orang-orang yang benar), syuhada’ dan solihin serta berada di dalam syurga-syurga Na’im.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 10. As-Sary as-Saqothy Telah berkata As-Sariyy As-Saqothi: “Siapa yang pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya maulid Nabi saw. maka sesungguhnya ia telah pergi ke satu taman dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan lantaran kerana cintanya kepada Nabi saw. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesiapa yang mecintaiku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii) 11. Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami “Siapa yang hendak membesarkan maulid Nabi saw. maka cukuplah disebutkan sekedar ini saja akan kelebihannya. Bagi siapa yang tidak ada di hatinya hasrat untuk membesarkan maulid Nabi saw. sekiranya dipenuhi dunia ini dengan pujian ke atasnya, tetap juga hatinya tidak akan tergerak untuk mencintai Nabi saw. Semoga Allah menjadikan kami dan kalian di kalangan orang yang membesarkan dan memuliakannya dan mengetahui kadar kedudukan Baginda saw. serta menjadi orang yang teristimewa di kalangan orang-orang yang teristimewa di dalam mencintai dan mengikutinya. Aamiin, wahai Tuhan sekalian alam. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas penghulu kami Nabi Muhammad saw. keluarganya dan sahabat-sahabatnya sekalian hingga Hari Kemudian.”

MULUDAN MENGHORMATI NABI

MAULID Tradisi merayakan maulid Nabi SAW. 12 Rabiul Awwal (sebagian ada yang mengatakan 9 Rabiul Awwal, juga ada yang mengatakan 17 Rabiul Awwal) tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam. Kalangan awam di antara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama akan tahu bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat. Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW., “Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW., yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW. sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW., menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw. yang mulia.”(Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252) Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaskan, “Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW., prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).”(Fathul Bari, juz XVII: 10)

TAWASUL ITU 1000% BOLEH

NABI S.A.W TIDAK PERNAH MELARANG TAWASSUL Tawasul dengan Nabi SAW dan orang shaleh menurut para Imam dan ulama 📓 Imam Malik Qodhi Iyadh dalam kitab Asy Syifa dan ulama lainnya menukilkan kisah Imam Malik ra tentang tawasul. Ketika Khalifah al Manshur bertanya kepada Imam Malik ra saat menziarahi makam baginda Rasulullah SAW, “Wahai Aba Abdillah (nama kunyah Imam Malik). Apakah aku menghadap kiblat ketika berdoa atau menghadap makam Rasulullah SAW?” Imam Malik berkata, “Mengapa engkau palingkan wajahmu darinya (baginda Nabi SAW) sedangkan ia adalah wasilahmu dan wasilah ayahmu Adam as kepada Allah. Menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat, niscaya Allah akan memberikan syafaat kepadamu. Allah telah berfirman : وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا [النساء: 64[ Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.(QS An nisa: 64) 📓 Imam Syafii Imam Syafii sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hajar al Haitsami dalam Shawaiq bertawasul dengan keluarga Nabi SAW. Beliau berkata : Keluarga nabi adalah wasilahku. Merekalah perantaraku kepada-Nya Aku berharap kelak buku amalanku diberikan dengan tangan kanan Dalam madzhab Syafii sendiri, bertawasul dengan para nabi dan orang sholeh adalah sesuatu yang dianjurkan. Imam al Qura Syamsudin Ibnu Jazri asy Syafii mengatakan dalam kitabnya Hishnul Hashin ketika berbicara tentang adab berdoa: “Hendaknya ia bertawasul kepada Allah dengan para nabi dan orang-orang sholeh daripada hamba Allah.” 📓Imam Ahmad Imam Ahmad sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab madzhab Hanbali dalam bab Istisqo (meminta hujan) seperti dalam kitab Inshof, mengatakan: “Disunahkan untuk bertawasul kepada Nabi SAW ketika terjadi kekeringan.” Dalam Madzhab Hanbali sendiri bertawasul dengan orang sholeh adalah boleh dan bahkan ada yang menyatakan sunah. Imam Ibnu Muflih al Hanbali dalam kitabnya al Mubdi fi Syarh Muqni mengatakan : Berkata Samiri dan penulis Talkhis, “Tidak mengapa bertawasul dalam shalat Istisqo dengan para guru dan ulama yang bertakwa. Dalam Madzhab (Hanbali) hukumnya boleh untuk meminta syafaat kepada Allah dengan lelaki yang sholeh bahkan ada yang mengatakan sunah. Imam Ahmad sendiri dalam Mansak yang ditulis oleh al Mirwazi menyebutkan bahwa ia bertawasul dengan Nabi SAW di dalam doanya.” 📓Ibnu Hajar al Atsqolani Dalam Diwannya, al Hafidz Ibnu Hajar banyak melakukan tawasul. Diantaranya adalah perkataan beliau : Di hadapan pintu kedermawananmu, hamba yang penuh dosa dan kesusahan berdiri. Wahai manusia terindah dengan wajah bercahaya Denganmu ia bertawasul, mengharap ampunan atas ketergelinciran Dengan bersimbah air mata karena rasa takutnya 📓Ibnu Taimiyah Ibnu Taimiyah juga memberikan contoh istighosah (salah satu bentuk tawasul) kepada Nabi SAW. Dalam kitabnya “Al Kalim Ath Thoyib (ucapan-ucapan yang baik)” beliau meriwayatkan : “Dari Haitsam bin Hanasy, berkata: “Dahulu, ketika kami duduk di -majelis- sahabat Abdullah bin Umar bin Khathab (semoga ridla Allah selalu tercurah baginya), tiba-tiba kaki beliau kebas. Seseorang berkata kepadanya: “Sebutkanlah orang yang paling engkau cintai!” Maka sahabat Abdullah ibn Umar berkata: “Yaa Muhammad….” Saat itu pula beliau langsung sembuh dari sakitnya tersebut; seakan ia telah terlepas dari ikatan” (Al Kalim Ath Thoyib, hal 88) Atsar ini meskipun dhoif, namun Ibnu Taimiyah justru mendatangkannya dalam kitab keutamaan yang dikatakan sebagai Kalim Thoyib (perkataan yang baik). Artinya ia menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. . Bahkan dalam fatwanya Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa tawasul dengan Nabi SAW adalah disyariatkan dalam berdoa. Beliau mengatakan : “Termasuk ke dalam hal yang disyariatkan adalah bertawasul dengannya (Nabi shalallahu `alaihi wa sallam) di dalam do`a sebagaimana terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan dishahihkan olehnya bahwa Nabi SAW mengajarkan seorang untuk berdoa, “Wahai Allah, sesungguhnya Aku bertawasul kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku bertawasul dengan perantaraanmu kepada Tuhanku agar DIA menunaikan hajatku itu. Wahai Allah, jadikan ia orang yang memberikan syafaat kepadaku.” Tawasul yang seperti ini adalah perbuatan baik. (Majmu Fatawa juz 3 halaman 276

KOMENTAR ULAMA SALAFUSOLEH TENTANG MAULID NABI

1. Hasan Al Basri (taabi'iin / salafus shalih 21 H - 110 H) 2. Junaid Al Baghdadi (seorang salafus shalih 221 - 297 H) 3. Jalaaluddiin as suyuthi (seorang al hafiz hapal 100.000 hadis) mereka angkat bicara ttg maulid . pengutip : m. iqbal hamdani ghafarahullaah . 1. Salaf Sejati Hasan Al Basri Bertemu Dengan 100 Lebih Sahabat Nabi dan Beliau adalah Seorang Tabi'in yang berkomentar ttg Peringatan Maulid Nabi Muhammad . قال الحسن البصري قدس الله سره وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لأنفقته على قراءة مولد الرسول . hasan albasri berkata : jika seandainya aku memiliki emas seperti gunung uhud niscaya akan aku berikan semuanya utk membiayai pembacaan maulid rasul . 2. Salaf Sejati Junaid albaghdadi . قال الجنيدي البغدادي رحمه الله من حضر مولد الرسول وعظم قدره فقد فاز بالإيمان . Junaid albaghdadi berkata : siapa yg menghadiri maulid rasul dan memuliakan pangkat kedudukan rasul maka ia telah beruntung . 3. Al hafidz imam suyuthi . جلال الدين السيوطي في كتابه الوسائل في شرح الشمائل ما من بيت أو مسجد أو محلة قرىء فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم هلا حفت الملائكة بأهل ذلك المكان وعمهم الله بالرحمة والمطوقون بالنور يعني جبريل وميكائل وإسرافيل وقربائيل وعينائيل والصافون والحافون والكروبيون فإنهم يصلون على ما كان سببا لقراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم . Jalaluddin as suyuuthi berkata didalam kitabnya yg bernama al wasaa'il fii syarhis syamaa'il : setiap rumah atau mesjid atau kawasan yg dibacakan padanya maulid nabi maka pasti orang2 di tempat tersebut dinaungi oleh para Malaikat dan Allah akan melimpahi mereka dengan rahmat dan dikunjungi malaikat pembawa cahaya. yaitu jibril,mikail,isrofil,qurba'il, aina'il, as sofun, al karubiyyun mereka memintakan ampunan dgn sebab membaca maulid nabi, . قال وما من مسلم قرىء في بيته مولد النبي صلى الله عليه وسلم إلا رفع الله تعالى القحط والوباء والحرق والآفات والبليات والنكبات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص عن أهل ذلك البيت فإذا مات هون الله تعالى عليه جواب منكر ونكير وكان في مقعد صدق عند مليك مقتدر . ia (as suyuthi ) berkata : org muslim yg membaca maulid dirumahnya maka allah angkat kemarau, wabah, kebakaran, penyakit, bala musibah, bencana, pertengkaran, hiri dengki, mata yg jahat, perampokan, dari penduduk rumah tersebut... jika ia mati,,, allah akan ringankan utk menjawab sual munkar dan nakir, adalah ia mempunyai tempat yg tinggi disisi malaikat yg berkuasa . Sumber tanpa google kitab : i'aanatuth thoolibiin juz 3 hal 364

MAULID ROSUL

DALIL MAULID NABI #الاحتفال_بالمولد_النبوي #ادلة_جوازه #للسيد_العلامة محمد بن علوي بن عباس المالكي الحسني نذكر مسائل هامة قبل ذكر أدلة جواز الاحتفال بالمولد النبوي: الأولى: أننا نقول بجواز الاحتفال بالمولد النبوي الشريف والاجتماع لسماع سيرته والصلاة والسلام عليه وسماع المدائح التي تقال في حقه، واطعام الطعام ، وإدخال السرور على قلوب الأمة .. الثانية: أننا لا نقول بسنية الاحتفال في ليلة مخصوصة بل من اعتقد ذلك فقد ابتدع في الدين ، لأن ذكره صلى الله عليه وسلم والتعلق به يجب أن يكون في كل حين ، ويجب أن تمتلأ به النفوس . نعم إن في شهر ولادته يكون الداعي أقوى لإقبال الناس واجتماعهم وشعورهم الفياض بارتباط الزمان بعضه ببعض ، فيتذكرون بالحاضر الماضي وينتقلون من الشاهد إلى الغائب .. الثالثة: أن هذه الاجتماعات هي وسيلة كبرى للدعوة إلى الله ، وهي فرصة ذهبية ويجب على الدعاة والعلماء أن يذكّروا الأمة بالنبي صلى الله عليه وسلم بأخلاقه وآدابه وأحواله وسيرته ومعاملته وعبادته ، وأن ينصحوهم ويرشدوهم إلى الخير والفلاح ويحذروهم من البلاء والبدع والشر والفتن ، وليس المقصود من هذه الاجتماعات مجرد الاجتماعات والمظاهر، بل إن هذه وسيلة شريفة إلى غاية شريفة ، ومن لم يستفد شيئاً لدينه فهو محروم من خيرات المولد الشريف. أدلة جواز الاحتفال بمولد النبي صلى الله عليه وسلم: الأول: أنه تعبير عن الفرح والسرور بالمصطفى صلى الله عليه وسلم وقد انتفع به الكافر ولقد استدل الحافظ ابن حجر بما جاء في البخاري(3184 ، فتح الباري ج: 9 ص: 145) وذكر السهيلي أن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : لما مات أبو لهب رأيته في منامي بعد حول في شرِّ حال فقال: ما لقيت بعدكم راحة إلا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين . قال: وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد يوم الاثنين وكانت ثويبة بشَّرت أبا لهب بمولده فاعتقها . ويقول في ذلك الحافظ شمس الدين محمد الدمشقي: إذا كان هذا الكافر جاء ذمه ... بتبت يداه في الجحيم مخلدا أتى أنه في يوم الاثنين دائماً ... يخفف عنه للسرور بأحمدا فما الظن بالعبد الذي كان عمره ... بأحمد مسروراً ومات موحدا الثاني: أنه صلى الله عليه وسلم كان يعظم يوم مولده ، ويشكر الله تعالى فيه على نعمته الكبرى عليه ، وتفضله عليه بالوجود لهذا الوجود ، إذ سعد به كل موجود ، وكان يعبر عن ذلك التعظيم بالصيام كما جاء في حديث أبي قتادة : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم يوم الاثنين ؟ فقال : (( فيه ولدت ، وفيه أُنزل عليَّ )) . رواه الامام مسلم في الصحيح في كتاب الصيام .. الثالث: أن الفرح به صلى الله عليه وسلم مطلوب بأمر من القرآن من قوله تعالى : (( قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ )) (يونس:58) فالله تعالى أمرنا أن نفرح بالرحمة والنبي صلى الله عليه وسلم أعظم رحمة قال الله تعالى : ( وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ )) (الانبياء:107) .. الرابع: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يلاحظ ارتباط الزمان بالحوادث الدينية العظمى التي مضت وانقضت ، فإذا جاء الزمان الذي وقعت فيه كان فرصة لنذكرها ، وتعظيم يومها ، لأجلها ولأنه ظرف لها . وقد أصَّل صلى الله عليه وسلم هذه القاعدة بنفسه كما صرح البخاري ومسلم والترمذي وغيرهم في الحديث أنه صلى الله عليه وسلم :" لما وصل إلى المدينة ورأى اليهود يصومون يوم عاشوراء سأل عن ذلك فقيل له : أنهم يصومون لأن الله نجى نبيهم وأغرق عدوهم فهم يصومونه شكراً لله على هذه النعمة فقال صلى الله عليه وسلم : نحن أولى بموسى منكم فصامه وأمر بصيامه " وقد كان الحافظ ابن حجر أول من استدل على هذا الحديث في جواز المولد النبوي ولا يمكن لأي مسلم كائناً من كان أن يقدح في عقيدة الحافظ ابن حجر .. الخامس : أن الاحتفال بالمولد لم يكن في عهده صلى الله عليه وسلم فهو بدعة ولكنها حسنة لا ندرجها تحت الأدلة الشرعية والقواعد الكلية ، فهي بدعة باعتبار هيئتها الاجتماعية ، لا باعتبار أفرادها لوجود أفرادها في العهد النبوي .. السادس : أن المولد الشريف يبعث على الصلاة والسلام بقوله تعالى : (( إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً )) (الأحزاب:56) وما كان يبعث على المطلوب شرعاً فهو مطلوب شرعاً ، فكم للصلاة عليه من فوائد نبوية وامدادات محمدية ومنها : 1- امتثال أمر الله سبحانه وتعالى. 2- موافقته سبحانه وتعالى في الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم وإن اختلفت الصلاتان فصلاتنا عليه دعاء وسؤال وصلاة الله تعالى عليه ثناء وتشريف . 3- موافقة ملائكته فيها فقد قال صلى الله عليه وسلم:" من صلى عليّ في كتاب لم تزل الملائكة يستغفرون له ما دام اسمي في ذلك الكتاب" 4- حصول عشر صلوات من الله على المصلي مرة . 5- أنه يرفع له عشر درجات ويكتب له عشر حسنات ويمحى عنه عشر سيئات . 6- ويرجى إجابة دعائه . 7- أنها سبب لشفاعته صلى الله عليه وسلم إذا قرنها بسؤال الوسيلة له أو أفرادها . 8- أنها سبب لغفران الذنوب وكفاية الله العبد ما أهمه . 9- أنها سبب لقرب العبد منه صلى الله عليه وسلم يوم القيامة ، قال صلى الله عليه وسلم : " إن أولى الناس بي أكثرهم علي صلاة " 10- أنها تقوم مقام الصدقة لذي العسرة وهي سبب لقضاء الحوائج . 11- أنها زكاة للمصلي وطهارة له . 12- أنها سبب لتبشير العبد بالجنة قبل موته . 13- أنها سبب للنجاة من أهوال يوم القيامة . 14- أنها سبب لرد النبي صلى الله عليه وسلم الصلاة والسلام على المصلي والمسلم عليه . 15- أنها سبب لطيب المجلس وأن لا يعود حسرة على أهله يوم القيامة. 16- أنها سبب لتذكرة العبد ما نسيه ونفي الفقر وتنفي عن العبد اسم البخل . 17- نجاته من الدعاء عليه برغم الأنف إذا تركها عند ذكره صلى الله عليه وسلم . 18- أنها ترمي صاحبها على طريق الجنة وتخطئ بتاركها عن طريقها. 19- أنها تنجي من نتن المجلس الذي لا يذكر فيه الله ورسوله ويحمد ويثنى عليه فيه ويصلي على رسوله صلى الله عليه وسلم . 20- أنها سبب لتمام الكلام الذي ابتدئ بحمد الله والصلاة على رسوله . 21- أنها سبب لوفور نور العبد على الصراط . 22- أنه يخرج بها العبد عن الجفاء . 23- أنها سبب لإبقاء الله سبحانه وتعالى الثناء الحسن للمصلي عليه بين أهل السماء والأرض . 24- أنها سبب للبركة في ذات المصلي وعمله وعمره وأسباب مصالحه. 25- أنها سبب لنيل رحمة الله له . 26- أنها سبب لدوام محبته للرسول صلى الله عليه وسلم وزيادتها وتضاعفها وذلك عقد من عقود الإيمان التي لا يتم الإيمان إلا بها . 27- أن الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم سبب لمحبته للعبد. 28- أنها سبب لهداية العبد وحياة قلبه . 29- أنها سب لعرض اسم المصلي عليه صلى الله عليه وسلم وذكره عنده . 30- أنها سبب لتثبيت القدم على الصراط والجواز عليه . 31- أن الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم أداء لأقل القليل من حقه وشكر له على نعمته التي أنعم الله بها علينا . 32- أنها متضمنة لذكر الله وشكره ومعرفة انعامه على عبيده بإرساله . السابع : أن المولد الشريف ، يشمل على ذكر مولده الشريف ومعجزاته وسيرته والتعريف به ، أولسنا مأمورين بمعرفته ومطالبين بالاقتداء به . والتأسي بأعماله والإيمان بمعجزاته والتصديق بآياته وكتب المولد تؤدي هذا المعنى تمامًا . الثامن : التعرض لمكافأته بأداء بعض ما يجب له علينا ببيان أوصافه الكاملة وأخلاقه الفاضلة ، وقد كان الشعراء يفدون إليه صلى الله عليه وسلم بالقصائد ويرضى عملهم ، ويجزيهم على ذلك بالطيبات والصلاة ، فإذا كان يرضى عمن مدحه شعراً ، فكيف لا يرضى عمن جمع شمائله الشريفة ، ففي ذلك التقرب له عليه السلام ، باستجلاب محبته ورضاه ، وقد ذكر الحافظ ابن سيد الناس في كتابه منح المدح مائة وبضع وسبعين من الصحابة مدحوا ورثوا رسول الله صلى الله عليه وسلم بأبيات غاية في الروعة ومنها ماهو مشهور ... كهذا البيت : وإن الرسول لنور يستضاء به ... مهند من سيوف الله مسلول روى الطبراني بسند صحيح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عندما قفل من تبوك - يعني وهو عائد من تبوك - قال له عمه العباس : يارسول الله أأذن لى أن امتدحك فقال له رسول الله : " قل لا يفضض الله فاك ياعم " فلم تسقط أسنانه حتى مات فأنشد .. من قبلها طبت في الظلال ... وفي مستودع حيث يأفك الورقُ ثم هبطت البلاد لا بشر أنت ... ولا نطفه ولا مضغه ولا عَلَقُ نطفه تركب السفينة ... وقد ألجم نسراً وأهله الغرقُ حتى احتوى بيتك المهيمن ... من خندف عليا دونها النطقُ وأنت لما ولدت أشرقت ... الأرض وضاءت بنورك الأفقُ فنحن في ذلك النور وذلك ... الضياء سبل الرشاد نخترقُ [1706] وروى الشافعي أن عمر بن الخطاب في عهده دخل المسجد فوجد حسان بن ثابت ينشد الشعر في مدح الرسول .. فقال : حسان أشعر في مسجد رسول الله ؟ فقال : لقد أنشدته عند من هو خير منك ياعمر .. ثم التفت إلى أبو هريرة وقال : أما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : اللهم أيده بروح القدس .. فقال: نعم ، فقال: فاتخذوا لحسان منبر في المسجد ينشد الشعر في مدح رسول الله " هذا دليل على أن الصحابه مدحوا رسول الله بعد وفاته ، واعتراض سيدنا عمر على الشعر لم يكن اعتراضاً على مدح رسول الله أو على الشعر إنما كان اعتراضاً على المكان الذي يُنشد فيه ، ألا وهو المسجد .. والله أعلم . [2\192] من الطبقات الكبرى للزهري عن بكر بن عبد الله قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( حياتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم فإذا أنا مت كانت وفاتي خيراً لكم تعرض علي أعمالكم فإذا رأيت خيراً حمدت الله وإن رأيت شراً استغفرت الله لكم )) .. التاسع : أن معرفة شمائله ومعجزاته وارهاصاته تستدعي كمال الإيمان به عليه الصلاة والسلام وزيادة المحبة ، إذ الإنسان مطبوع على حب الجميل ، خَلقَاً وخُلُقاً ، علماً وعملاً ، حالاً واعتقاداً ولا أجمل ولا أكمل ولا أفضل من أخلاقه وشمائله صلى الله عليه وسلم ، وزيادة المحبة وكمال الإيمان مطلوبان شرعاً فما كان يستدعيهما مطلوب كذلك . العاشر : أن تعظيمه صلى الله عليه وسلم مشروع ، والفرح بيوم ميلاده الشريف بإظهار السرور ووضع الولائم والاجتماع للذكر وإكرام الفقراء من أظهر مظاهر التعظيم والابتهاج والفرح والشكر لله ، بما هدانا لدينه القويم ، وما من به علينا من بعثه عليه أفضل الصلاة وأتم التسليم .. الحادي عشر : يُؤخذ من قوله صلى الله عليه وسلم في فضل يوم الجمعة ، وعد مزاياه ، وفيه خلق آدم تشريف الزمان الذي ثبت أنه ميلاد لأي نبي كان من الأنبياء عليهم السلام فكيف باليوم الذي ولد فيه أفضل النبيين والمرسلين . ولا يختص هذا التعظيم بذلك اليوم بعينه بل يكون له خصوصاً ولنوعه عموماً مهما تكرر كما هو الحال في يوم الجمعة ، شكراً للنعمة وإظهاراً لمزية النبوة وكما يُؤخذ تعظيم المكان الذي ولد فيه نبي من أمر جبريل عليه السلام النبي صلى الله عليه وسلم بصلاة ركعتين ببيت لحم ثم قال له : أتدري أين صليت ؟ قال : لا ، قال : صليت ببيت لحم حيث ولد عيسى وفيه اتباع لما جاء في القرآن من ذكر قصص ميلاد عدد من الأنبياء عليهم السلام ، كقصة مولد سيدنا موسى ويحيي وعيسى ومريم عليهم الصلاة والسلام جميعاً .... وهل يتأتى أن يذكر مولد هؤلاء الأنبياء وغيرهم ولا نذكر نحن مولد أفضل الأنبياء عليه أفضل الصلاة وأتم التسليم ؟؟؟ وليس في هذا تشبه باليهود والنصارى كما يقول بعض المعارضين .... !!!! الثاني عشر : أن المولد أمر يستحسنه العلماء والمسلمون في جميع البلاد ، وجرى به العمل في كل صقع فهو مطلوب شرعاً للقاعدة المأخوذة من حديث ابن مسعود الموقوف : (( ما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن ومارآه المسلمون قبيحاً فهو عند الله قبيح )) أخرجه أحمد الثالث عشر : أن المولد اجتماع ذكروصدقه ومدح وتعظيم للجناب النبوي فهو سنة ، وهذه أمور مطلوبة شرعاً وممدوحة ، وجاءت الآثار الصحيحة بها وبالحث عليها . أن الله تعالى قال : ( وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ )) (هود: من الآية120) يظهر منه أن الحكمة في قص أنباء الرسل عليهم السلام تثبيت فؤاده الشريف بذلك ولا شك أننا اليوم نحتاج إلى تثبيت أفئدتنا بأنبائه وأخباره أشد من احتياجاته هو صلى الله عليه وسلم . الرابع عشر: ليس كل مالم يفعله السلف ولم يكن في الصدر الأول ، فهو بدعة منكرة سيئة يحرم فعلها ويجب الإنكار عليها بل يجب أن يعرض ما أحدث على أدلة الشرع فما اشتمل على مصلحة فهو واجب أو على محرم فهو محرم ، وللوسائل حكم المقاصد ، وقد قسم العلماء البدعة إلى خمسة أقسام: واجبة : كالرد على أهل الزيغ ، وتعلم النحو. ومندوبة : كإحداث الربط والمدارس ، والأذان على المنابر وصنع إحسان لم يعهد في الصدر الأول. ومكروه : كزخرفة المساجد ، وتزويق المصاحف . ومباحة : كاستعمال المنخل ، والتوسع في المأكل والمشرب . ومحرمة : وهي ما أحدث لمخالفة السنة ولم تشمله أدلة الشرع العامة ولم يحتو على مصلحة شرعية . الخامس عشر: أما الحديثان التاليان للمصطفى صلى الله عليه وسلم : " كل محدثه بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار " ، " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد " وقد فُسرت من البعض أن كل الأولى لفظ عموم .. عموم في الدين والدنيا والثانيه خاصه في الدين! ولكن ليست كل بدعة محرمة ولو كان كذلك لحرم جمع أبو بكر وعمر وزيد رضي الله عنهم القرآن وكتبه في المصاحف خوفاً على ضياعه بموت الصحابة القراء رضي الله عنهم ؟! ، ولحرم جمع عمر رضي الله عنه الناس على إمام واحد في صلاة التراويح مع قوله : " نعمت البدعة هذه " ؟! ، وحرم التصنيف في جميع العلوم النافعة ؟! ، ولوجب علينا حرب الكفار بالسهام والأقواس مع حربهم لنا بالرصاص والمدافع والدبابات ؟! ، وبناء الجامعات وتسميتها بهذا الإسم وتسمية الندوات والمحاضرات بهذا الإسم فإنه لم يذكر أن رسول الله أو أحداً من الصحابة سمى بهذا الإسم ، وزيادة الآذان الأول يوم الجمعة ؟! ، وزيادة سيدنا عبد الله بن عمر البسملة في أول التشهد ؟! .. وقال شيخ الإسلام ابن حجر العسقلاني شارح صحيح البخاري : " وكل ما لم يكن في زمنه صلى الله عليه وآله وسلم يسمى بدعة ، لكن منها ما يكون حسناً ومنها مايكون خلاف ذلك " أ . هـ وقال الشافعي : " البدعة بدعتان : بدعة محمودة وبدعة مذمومة فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم . أ . هـ وقال أيضاً : " ما أحدث وخالف كتاباً أو سنة أو اجماعاً أو أثراً فهو البدعة الضالة وما أحدث من الخير ولم يخالف شيئاً من ذلك فهو المحمود ". أ . هـ فمن ثم قيد العلماء رضي الله عنهم حديث كل بدعة ضلالة بالبدعة السيئة ، ويصرح بهذا القيد ما وقع من أكابر الصحابة والتابعين من المحدثات التي لم تكن في زمنه صلى الله عليه وسلم . ونحن اليوم قد أحدثنا مسائل كثيرة لم يفعلها السلف وذلك كجمع الناس على إمام واحد في آخر الليل لأداء صلاة التهجد بعد صلاة التراويح ، وكختم القرآن فيها ، وكقراءة دعاء ختم القرآن وإطالته وكنداء المنادي بقوله صلاة القيام أثابكم الله ، فكل هذا لم يفعله النبي صلى الله عليه وسلم ولا أحد من السلف ، فهل يكون له بدعة ؟؟ أو يكون محرماً فعله ؟؟ !! .. السادس عشر : وفي حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها ومن سنة في الإسلام سنة سيئة فله وزرها ووزر من عمل بها )) .. إذا كان معنى الحديث كما هو متعارف أن من سن في الإسلام سنة حسنة أي أحيا سنة من سنن النبي صلى الله عليه وسلم إذن فعلى هذا الأساس نُكمل شرح الحديث - على أنه ليس من المعقول أنه تشرح حديثاً على قاعدة ثم تغييرالقاعدة لشرح باقي هذا الحديث - فمن سن سنة سيئة أي أحيا سنة سيئة لرسول الله !! هل رسول الله له سنة سيئة حتى نحييها ؟؟!! ، حاشاه عن ذلك . إذن فليس هذا هو الشرح الصحيح وإنما لو قلنا أن من أحدث أو سن سنة حسنة في الدين بعموم اللفظ فله أجرها وأجر من عمل بها وبالتالي من سن في الإسلام سنة سيئة فله وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة وإن المولد النبوي من السنن الحسنة كما ذُكر آنفاً .. والله أعلم . السابع عشر: أن الاحتفال بالمولد إحياء لذكرى المصطفى صلى الله عليه وسلم وذلك مشروع في الإسلام ، فأنت ترى أن أكثرأعمال الحج إنما هي إحياء لذكريات مشهودة ومواقف محمودة فالسعي بين الصفا والمروة ورمي الجمار والذبح بمنى كلها حوادث ماضية سابقة ، يحي المسلمون ذكراها بتجديد صورتها في الواقع . الثامن عشر: كل ما ذكرنا سابقاً من الوجوه في مشروعية المولد إنما هو في المولد الذي خلا من المنكرات المذمومة التي يجب الانكار عليها ،أما إذا اشتمل المولد على شئ مما يجب الانكارعليه كاختلاط الرجال بالنساء وارتكاب المحرمات وكثرة الإسراف مما لا يرضى به صاحب المولد الشريف صلى الله عليه وسلم فهذا لاشك فيه من المحرمات لكن تحريمه حينئذ يكون عارضياً لا ذاتياً كما لا يخفى على من تأمل ذلك . التاسع عشر : قال السيد محمد سعيد البيض من دولة كينيا بأفريقيا : قال الإمام الفارض : ألا كل مدح للنبي مقصراً ... وإن بالغ المثني عليه وأكثرا إن الله سبحانه تعالى مدح رسوله في كتابه العظيم بالخلق العظيم وبالأوصاف العظيمة فالقرآن كله مدح للرسول العظيم كما قال الشاعر : قرآنُ ربِّك كلُّه ... بك يحتفي ويمجِّدُ وما من سورة وآية إلا ومدحت رسول الله صلى الله عليه وسلم فـ( تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ ) فيها أعظم مدح فإن الله سبحانه وتعالى ذمَّه بسبب رسوله صلى الله عليه وسلم؛ فإذا قام الرجل يدافع عنك بكل قوة وبصراحة فهل مدحك أو ذمَّك فالله سبحانه وتعالى مدحه بأعظم مدحه، فإن الله جلَّ جلاله قام بذمِّ عمِّه تشريفاً لمقامه صلى الله عليه وسلم .. وأما ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ) فإذا قيل لك أمام الجم الغفير قل لهم يفعل كذا فهو يمدحك .. وكذلك ( أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ) و( وَالضُّحَى ، وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى) والغريب أن هذه السورة فيها المدح الكامل والميلاد الكامل فالله تعالى يقول ( أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيماً فَآوَى ) فهناك نظرين أولهما كيف وجد النبي صلى الله عليه وسلم ؟ وجد بالميلاد ، ما نزل من السماء ؟ وما نبت من الأرض ؟ وما جاء من البحر ؟ وإنما ولد ، كيف ولد ؟ ومن ولده ؟ وكيف تربى ؟ وكيف .. ؟ وكيف ..؟ وكيف كان يتيماً ؟ ومن هو أبوه ؟ ومن هي أمه ؟ وفي إيواءه من إيواء جده عبد المطلب إلى عمه أبو طالب إلى إيواء خديجة إلى إيواء الأنصار فهذه الآية الواحدة مولوداً كاملاً ثم الآية الأخرى (وَوَجَدَكَ ضَالاً فَهَدَى) بعض المفترين يقولون أن النبي قد ضلَّ ، وضل في اللغة العربية أخطأ الطريق الذي يجب أن يمشي عليه والله سبحانه وتعالى يقول: ( مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإِيمَانُ ) فلما تلا الكتاب والإيمان فقد اهتدى فلذلك الضلال في القرآن يجيئ لمعان انظر إلى موسى لما قال له فرعون : ( وَفَعَلْتَ فَعْلَتَكَ الَّتِي فَعَلْتَ وَأَنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ ) فلم يقبل موسى عليه السلام ( قَالَ فَعَلْتُهَا إِذاً وَأَنَا مِنَ الضَّالِّينَ ) ما قصدت قتل الرجل إنما قصدت دفاعاً عن المظلوم والضعيف .. ومن الغريب أيضاً أن القرآن جمع مدائح كثير وقد جمعتُ الآيات في المدح فأحصيتُ أكثرمن 435 آية صراحة في المدح أما الإيماء فكل القرآن فإذا أقمنا 435 مجلساً في العام فهذا قليل في حقه صلى الله عليه وسلم فيجب علينا أن نقيم أكثر من ذلك فلو أنا أقمنا كل يوم لأحمد مولداً قد كان واجب ، والصحابة رضوان الله تعالى عليهم مدحوا النبي صلى الله عليه وسلم وما من صحابي إلا وله موقف في مدح النبي صلى الله عليه وسلم إما قولاً وإما فعلاً وإما إنشاداً وإما جهاداً ، فلذلك امدح نبيك بأي وسيلة شئت وسمه بعد ذلك مولداً أو ذكرى أو أي اسماً شئت ولكن المقصود أن تمدح النبي صلى الله عليه وسلم فصلاتك مقبولة بأي اسم كان لك حتى لو لم يكن لك اسم فصلاتك مقبولة فالمقصود تعظيم النبي صلى الله عليه وسلم وكل من مدح النبي صلى الله عليه وسلم مدحه وهو قائم ولايوجد أحداً من الصحابة مدحه وهو جالس فالقيام أصل والجلوس فرع أتقدم الفرع على الأصل ؟ لماذا ؟ ، ويقول المفترين إنكم تستحضرون روح النبي صلى الله عليه وسلم ! فإنك تستحضر روحه في الصلاة فكيف إذا استحضرت روحه في المولد ؟! ، فلا تصح صلاتنا إلا إذا قلنا السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته نداءان خطابيان الكاف وأيها فأنت تستحضر النبي في الصلاة فإذا استحضرته في المولد فهذا غير جائز ، وبعضهم يقولون هل يحضر النبي في المولد فإذا كان الأنبياء يحضرون أمام النبي فهذا موسى ينزل عندما حج النبي ورأى يونس ورأى غيرهم من الأنبياء فكان النبي صلى الله عليه وسلَّم يستحضر الأنبياء ويراهم فنحن إذا لم نكن نره .. وسلِّم لأهل الله في كل ... مشكل لديك لديهم ثابت بالأدلة وإذا لم ترى الهلال ... فسلِّم لأناس رأوه بالأبصار Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai Nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang - benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala Shahihain hadits No.5417)

TAHLILAN 3

FATWA TAHLILAN TOKOH SALAFI WAHABI ...!! 👇👇👇 Bahkan Tokoh andalan para Wahabipun, yang bernama Syekh Bin Baz , juga memperbolehkan mengundang tetangga mayit untu makan bersama , bisa dilihat fatwanya dibawah ini : ﻛﺘﺎﺏ : ﺍﻟﺪﺭﻭﺱ ﺍﻟﻤﻬﻤﺔ ﻟﻌﺎﻣﺔ ﺍﻷﻣﺔ ﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﺑﺎﺯ ﻭ ﻻ ﺣﺮﺝ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮﺍ ﺟﻴﺮﺍﻧﻬﻢ، ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﻟﻸﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺍﻟﻤﻬﺪﻯ ﺇﻟﻴﻬﻢ، ﻭ ﻟﻴﺲ ﻟﺬﻟﻚ ﻭﻗﺖ ﻣﺤﺪﻭﺩ ﻓﻴﻤﺎ ﻧﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻉ . Dan TIDAK MENGAPA/DIBOLEHKAN bagi keluarga mayit untuk MENGUNDANG tetangga-tetangga mereka, atau selain mereka, untuk MAKAN BERSAMA dari makanan yang dihadiahkan ke mereka. Dan tidak ada batasan waktu yang menentukan dalam masalah ini, sepanjang pengetahuan kami dalam syariat agama ini. Link : http://goo.gl/1wMGYK Syaikh Ibnu Baz, dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371 , ia berkata : ﺣﻜﻢ ﺣﻀﻮﺭ ﻣﺠﻠﺲ ﺍﻟﻌﺰﺍﺀ ﻭﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻓﻴﻪ ﺱ : ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺣﻀﻮﺭ ﻣﺠﻠﺲ ﺍﻟﻌﺰﺍﺀ ﻭﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻣﻌﻬﻢ؟ ﺝ : ﺇﺫﺍ ﺣﻀﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻭﻋﺰﻯ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻓﺬﻟﻚ ﻣﺴﺘﺤﺐ؛ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﺒﺮ ﻟﻬﻢ ﻭﺍﻟﺘﻌﺰﻳﺔ، ﻭﺇﺫﺍ ﺷﺮﺏ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻓﻨﺠﺎﻥ ﻗﻬﻮﺓ ﺃﻭ ﺷﺎﻱ ﺃﻭ ﺗﻄﻴﺐ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﻛﻌﺎﺩﺓ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻊ ﺯﻭﺍﺭﻫﻢ . “Hukum menghadiri majliz ta’ziyah dan duduk-duduk di sana. Soal: Bolehkah menghadiri majlis ta’ziyah (tahlilan) dan duduk-duduk bersama mereka? Jawab: Apabila seorang Muslim menghadiri majliz ta’ziyah dan menghibur keluarga mayit maka hal itu disunnahkan, karena dapat menghibur dan memotivasi kesabaran kepada mereka. Apabila minum secangkir kopi, teh atau memakai minyak wangi (pemberian keluarga mayit), maka hukumnya tidak apa-apa, sebagaimana kebiasaan masyarakat terhadap para pengunjungnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371). Satu Lagi Fatwa Bin Bazz dalam fatwa resminya : ﻋﺸﺎﺀ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺱ : ﺍﻷﺥ ﺃ . ﻡ . ﻉ . ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻳﺎﺽ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺳﺆﺍﻟﻪ : ﻧﺴﻤﻊ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻋﻦ ﻋﺸﺎﺀ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻭ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ، ﻭﻟﻪ ﻃﺮﻕ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ، ﻓﺒﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻌﻤﻞ ﻋﺸﺎﺀ ﺧﺎﺻﺔ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻌﻤﺎﻝ ﻭﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ، ﻭﺑﻌﻀﻬﻢ ﻳﺨﺮﺟﻪ ﻟﻠﺬﻳﻦ ﻳﻔﻄﺮﻭﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ، ﻭﺑﻌﻀﻬﻢ ﻳﺬﺑﺢ ﺫﺑﻴﺤﺔ ﻭﻳﻮﺯﻋﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻔﻘﺮﺍﺀ ﻭﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﺟﻴﺮﺍﻧﻪ، ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﺟﺎﺋﺰﺍ ﻓﻤﺎ ﻫﻲ ﺍﻟﺼﻔﺔ ﺍﻟﻤﻨﺎﺳﺒﺔ ﻟﻪ؟ ﺝ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻟﻠﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﻗﺎﺭﺏ ﻣﺸﺮﻭﻋﺔ؛ ﻟﻘﻮﻝ ‏« ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﻟﻤﺎ ﺳﺄﻟﻪ ﺳﺎﺋﻞ ﻗﺎﺋﻼ : ﻫﻞ ﺑﻘﻲ ﻣﻦ ﺑﺮ ﺃﺑﻮﻱ ﺷﻲﺀ ﺃﺑﺮﻫﻤﺎ ﺑﻪ ﺑﻌﺪ ﻣﻮﺗﻬﻤﺎ؟ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻭﺍﻻﺳﺘﻐﻔﺎﺭ ﻟﻬﻤﺎ ﻭﺇﻧﻔﺎﺫ ﻋﻬﺪﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻫﻤﺎ ﻭﺇﻛﺮﺍﻡ ﺻﺪﻳﻘﻬﻤﺎ ﻭﺻﻠﺔ ﺍﻟﺮﺣﻢ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﻮﺻﻞ ﺇﻻ ﺑﻬﻤﺎ ‏» ﻭﻟﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﺇﻥ ﻣﻦ ﺃﺑﺮ ﺍﻟﺒﺮ ﺃﻥ ﻳﺼﻞ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺃﻫﻞ ﻭﺩ ﺃﺑﻴﻪ ‏» ‏« ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻤﺎ ﺳﺄﻟﻪ ﺳﺎﺋﻞ ﻗﺎﺋﻼ : ﺇﻥ ﺃﻣﻲ ﻣﺎﺗﺖ ﻭﻟﻢ ﺗﻮﺹ ﺃﻓﻠﻬﺎ ﺃﺟﺮ ﺇﻥ ﺗﺼﺪﻗﺖ ﻋﻨﻬﺎ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻌﻢ ‏» ﻭﻟﻌﻤﻮﻡ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﺇﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﺍﺑﻦ ﺁﺩﻡ ﺍﻧﻘﻄﻊ ﻋﻤﻠﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺛﻼﺙ ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎﺭﻳﺔ ﺃﻭ ﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﺃﻭ ﻭﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ ‏» . ﻭﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻻ ﻣﺸﺎﺣﺔ ﻓﻲ ﺗﺴﻤﻴﺘﻬﺎ ﺑﻌﺸﺎﺀ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ، ﺃﻭ ﺻﺪﻗﺔ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻧﺖ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﺍ “HUKUM KENDURI UNTUK KEDUA ORANG TUA Soal: Sda AMA, Riyadh. Kami banyak mendengar tentang kenduri untuk kedua orang tua atau salah satunya. Dan banyak caranya. Sebagian masyarakat mengadakan kenduri khusus pada bulan Ramadhan dengan mengudang sebagian pekerja dan fakir miskin. Sebagian lagi mengeluarkannya bagi mereka yang berbuka puasa di Masjid. Sebagian lagi menyembelih hewan dan membagikannya kepada sebagian fakir miskin dan tetangga. Apakah kenduri ini boleh? Lalu bagaimana cara yang wajar? Jawab: “Sedekah untuk kedua orang tua, atau kerabat lainnya memang dianjurkan syara’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika seseorang bertanya: “Apakah aku masih bisa berbakti kepada kedua orang tua setelah mereka wafat?” “Iya, menshalati jenazahnya, memohonkan ampunan, menepati janjinya, memuliakan teman mereka, menyambung tali kerabatan yang hanya tersambung melalui mereka.” Dan karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Termasuk kebaktian yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan mereka yang dicintai ayahnya.” Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketiak seseorang bertanya: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan tidak berwasiat. Apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Iya”. Dan karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, sedekah yang mengalir, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shaleh yang mendoakannya.” Sedekah semacam ini, tidak menjadi soal dinamakan kenduri kedua orang tua atau sedekah kedua orang tua, baik dilakukan pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 253-254). Link : http://islamancient.com/play.php?catsmktba=34354