Senin, 05 Maret 2018

SYEIKH IBNU TAIMIYAH MENGANJURKAN TAHLILAN


~ SYEIKH IBNU TAIMIYAH Ulama besar rujukan SALAFI dalam kitabnya Mengatakan.. ~
☆ Menghadiahkan bacaan AL-QURAN kepada mayit adalah sampai.
☆ TAHLILAN untuk orang meninggal adalah boleh, bukan BID'AH ya.
☆ Manfaat untuk mayit adalah PASTI.
☆ Ada yang mengatakan BID'AH Padahal SUNNAH.
☆ Mau disebut INGKAR SUNNAH?.
☆ Amalan perbuatan yang dilakukan oleh para SAHABAT, TABI'IN adalah termasuk SUNNAH ROSUL walaupun NABI tidak mencontohkan nya, Karena NABI berkata begitu dalam HADITS.
☆ JUMHUR ULAMA dunia sepakat semua amalan ada referensi nya
JUMHUR ULAMA artinya MAYORITAS ULAMA atau ULAMA KEBANYAKAN.
☆ Jadi jangan suka USIL ya..
☆ NABI mengatakan dalam hadits nya, JIKA UMATKU BERSELISIH MAKA IKUTILAH MUSLIM KEBANYAKAN atau MAYORITAS .
Maksudnya jika di Indonesia mayoritas bermadzhab SYAFI'I maka ikutilah muslim mayoritas tersebut, Niscaya akan selamat..

Selasa, 02 Januari 2018

SUJUD SAHWI

Sujud sahwi adalah sujud karena lupa, kalimat sahwi itu sendiri dalam bahasa arab berarti melupakan sesuatu. Dan dinamakan sujud sahwi karena sujud tersebut disunnahkan bagi kita ketika kita lupa melakukan sunnah-sunnah ab’ad atau sebab-sebab sujud sahwi yang lainnya.

"SEBAB-SEBAB MENGERJAKAN SUJUD SAHWI"

Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitabnya mengatakan :

(فَصْلٌ) أَسْبَابُ سُجُوْدِ السَّهْوِ أَرْبَعَةٌ :اَلْأَوَّلُ تَرْكُ بَعْضٍ مِنْ أَبْعَاضِ الصَّلَاةِ أَوْ بَعْضِ الْبَعْضِ، اَلثَّانِي فِعْلُ مَايُبْطِلُ عَمْدُهُ وَلَايُبْطِلُ سَهْوُهُ إِذَا فَعَلَهُ نَاسِيًا، اَلثَّالِثُ نَقْلُ رُكْنٍ قَوْلِيٍّ إِلَى غَيْرِ مَحَلِّهِ، اَلرَّابِعُ إِيْقَاعُ رُكْنٍ فِعْلِيٍّ مَعَ احْتِمَالِ الزِّيَادَةِ
Sebab-sebab sujud sahwi ada empat : (1). Meninggalkan sunnah ab'ad atau sebagian dari sunnah ab'ad. (2). Melakukan sesuatu, yang jika sengaja dapat membatalkan shalat, akan tetapi tidak membatalkan jika dalam keadaan lupa. (3). Melakukan rukun qauli (bacaan) bukan pada tempatnya. (4). Menambah rukun fi'li (perbuatan) yang disertai adanya keraguan. (Kitab Safinatun Najah, halaman 15)

Di bawah ini kami ketengahkan beberapa hadits Nabi saw berkenaan dengan sujud sahwi :

1. Tidak melakukan tasyahud awal atau doa qunut

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ بُحَيْنَةَ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ مِنْ بَعْضِ الصَّلَوَاتِ ثُمَّ قَامَ فَلَمْ يَجْلِسْ فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ وَنَظَرْنَا تَسْلِيْمَهُ كَبَّرَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ التَّسْلِيْمِ ثُمَّ سَلَّمَ

Dari Abdullah bin Buhainah dia berkata : Pada suatu ketika Rasulullah saw mengimami kami shalat. Setelah dua rakaat, beliau langsung berdiri tanpa duduk (tasyahud awal), dan jamaah makmum turut pula berdiri mengikuti beliau. Tatkala shalat telah selesai, dan kami sedang menunggu-menunggu beliau mengucapkan salam, ternyata beliau bertakbir, lalu bersujud dua kali ketika duduk sebelum salam, setelah itu barulah beliau mengucapkan salam. (H. R. Muslim no. 1297, Abu Daud no. 1036)

Imam Nawawi dalam kitabnya mengatakan :

والثانى أن يترك القنوت ساهيا فيسجد للسهو لانه سنة مقصودة في محلها فتعلق السجود بتركها كالتشهد الاول

Yang kedua, seseorang meningalkan qunut dalam keadaan lupa, maka hendaknya ia sujud sahwi, karena qunut merupakan sunnat maqshudah pada tempatnya, karena itu dihubungkan sujud dengan sebab meninggalkannya sama seperti tasyahud awal. (Kitab Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Juz IV, halaman 125)

2. Menambah (kelebihan) rakaat, rukuk atau sujud karena lupa

عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَلَمَّا سَلَّمَ قِيْلَ لَهُ أَزِيْدَ فِى الصَّلاَةِ قَالَ  وَمَا ذَاكَ. قَالُوْا صَلَّيْتَ خَمْسًا. فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ

Dari Abdullah, bahwa Nabi saw (suatu ketika) shalat Zhuhur lima rakaat. Ketika beliau ucapkan salam, ditanyakan kepada beliau : Apakah rakaat shalat bertambah? Beliau menjawab: Mengapa demikian?  Mereka menjawab : Anda shalat limarakaat.  Lalu Nabi bersujud dua kali. (H. R. Muslim no. 1309)

3. Mengurangi (kurang) rakaat karena lupa

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنِ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقُصِرَتِ الصَّلاَةُ أَمْ نَسِيْتَ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ. فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ. فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُوْدِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ

Dari Abu Hurairah ra, ketika Rasulullah saw menyelesaikan shalatnya yang baru dua rakaat, Dzul Yadain berkata kepada Beliau : Apakah shalat diqashar atau anda lupa, wahai Rasulullah? Maka Rasulullah saw berkata : Apakah benar yang dikatakan Dzul Yadain? Orang-orang menjawab : Benar. Maka Rasulullah sawq bediri dan mengerjakan shalat dua rakaat yang kurang tadi kemudian memberi salam. Kemudian Beliau bertakbir lalu sujud seperti sujudnya (yang biasa) atau lebih lama lagi kemudian mengangkat kepalanya. (H. R. Bukhari no. 1228)

3. Karena syak (ragu) tentang jumlah rakaat yang telah dikerjakan

عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ

Dari Abu Sa'id Al-Khudri dia berkata, Rasulullah saw bersabda : Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang pasti (yaitu yang sedikit). Kemudian sujudlah dua kali sebelum memberi salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Dan jika, ternyata shalatnya memang empat rakaat maka kedua sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan. (H. R. Muslim no. 1300)

"CARA MENGERJAKAN SUJUD SAHWI"

Cara mengerjakan sujud sahwi adalah dengan mengerjakan dua kali sujud dan duduk diantara dua sujud, ketentuannya sama dengan sujud pada shalat.  dan sujud ini dilakukan setelah membaca tahiyyat akhir sesaat sebelum salam

Sedangkan pada saat sujud membaca tasbih berikut ini tiga kali

سُبْحَانَ مَنْ لاَيَنَامُ وَلاَ يَسْهُوْ

((( SUBHAANA MAN LAA YANAAMU WALAA YASHUU )))

(Maha suci Allah, dzat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa).

Baca juga : Sujud Tilawah, Sujud Syukur

LEBIH BERMANFAAT BILA DISHARE KEPADA YANG LAIN

Sabtu, 30 Desember 2017

KETAMPANAN BAGINDA BESAR NABI MUHAMMAD ﷺ

Dalam Kitab Al-Mahabbah karya Imam Ghozali disebutkan bahwa Imam Muhammad bin Asy'ats berkata pada masa Nabi Yusuf 'Alaihissalam,
penduduk Mesir pernah hidup selama empat bulan tanpa makanan.

Jika mereka lapar, mereka cukup memandang Nabi Yusuf  'Alaihissalam sehingga ketampanannya menjadikan mereka lupa akan rasa laparnya.
Bahkan ada yang lebih dari itu.

Pernah terjadi di mana sekumpulan perempuan mengiris-ngiris jarinya tanpa terasa, karena takjub melihat ketampanan Nabi Yusuf 'Alaihissalam.

Di lain keterangan, Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam Kitabnya, Muhammad Insanul Kamil, mengatakan bahwa persentase ketampanan, keindahan dan keelokan yang ALLAH Ta'ala turunkan ke alam ini dibagi menjadi beberapa bagian, dengan rincian :

50% untuk Nabi Muhammad ﷺ,
25 % untuk Nabi Yusuf 'Alaihissalam, dan sisanya 25% lagi dibagikan kepada seluruh alam raya beserta isinya yang meliputi keindahan alam, keelokan hewan, ketampanan dan kecantikan manusia, dan lain sebagainya.

Baik Nabi Muhammad ﷺ maupun Nabi Yusuf  'Alaihissalam sama-sama tampan dan mempesona siapapun yang melihat, mereka juga sama-sama diberi 10 hijab dari cahaya guna menjaga penampilannya dari fitnah.

Hanya bedanya semua hijab Nabi Yusuf 'Alaihissalam telah dibuka semenjak di dunia,
sedangkan Nabi Muhammad ﷺ baru satu yang dibuka, sisanya akan dibuka dan ditampakan kelak di surga.
Karena jika semua hijab beliau dibuka semenjak di dunia, orang-orang akan tanpa sadar
mengoyak-ngoyak jantungnya karena tak kuasa menahan takjub melihat beliau.

اللهم صل على سيدنا و حبيبنا و شفيعنا و قرة أعيننا و مولانا محمد وعلى آله وصحبه وسلم..
اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى اله....

Sumber :

✔Kitab Al-Mahabbah karya Imam Ghozali.
✔Muhammad Insanul Kamil karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

Minggu, 26 Maret 2017

DZIKIR

Dalil mengeraskan dzikir setelah salat berdasarkan riwayat Ibnu Abbas berikut ini: اِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِ فُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ g وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ (رواه البخاري) ”Sesungguhnya mengeraskan (bacaan) dzikir setelah para sahabat selesai melakukan salat wajib sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw.” Ibnu Abbas berkata: “Saya mengetahui yang demikian setelah mereka melakukan salat wajib dan saya mendengarnya” HR Bukhari No 796, Muslim No 919, Ahmad No 3298, dan Ibnu Khuzaimah No 1613. Riwayat Ibnu Abbas ini juga diperkuat oleh sahabat Abdullah bin Zubair, ia berkata: "Rasulullah Saw mengeraskan (yuhallilu) kalimat-kalimat dzikirnya setiap selesai salat" (Sahih Muslim No 1372, Ahmad No 16150 dan al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra No 3135) Dari hadis ini Imam Nawawi berkata: هَذَا دَلِيْلٌ لِمَا قَالَهُ بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالتَّكْبِيْرِ وَالذِّكْرِ عَقِبَ الْمَكْتُوْبَة ِ (شرح النووي على مسلم 2 / 360) "Riwayat ini adalah dalil sebagian ulama salaf mengenai disunahkannya mengeraskan suara bacaan takbir dan dzikir setelah salat wajib" (Syarah Sahih Muslim II/260). Al-Mubarakfuri berkata: "Anjuran mengeraskan suara dengan takbir dan dzikir setelah setiap salat wajib adalah pendapat yang unggul (rajih) menurut saya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas diatas" (Syarah Misykat al-Mashabih III/

Kamis, 22 Desember 2016

SALAFUSSHOLEH

Generasi Salafus Sholeh Siapa yang menginginkan husnul khatimah (mati dalam iman), jagalah selalu sangka baik kepada semua manusia. (Imam Syafi'i) ULAMA SALAFY: KEDUA ORANG TUA NABI SAW SELAMAT DI AKHIRAT Fatwa Syaikh Assyinqiti -Ulama rujukan Salafiyyin – bahwa orang tua Nabi Muhammad saw adalah ahli surga ( Sumber: Kitab Majlis Ilmu bersama Syaikh Muhammad Al Amin Assyinqiti, Hal: 40, penulis ahmad bin muhammad al amin bin ahmad assyinqiti ). Adalah Halaqah Ilmu beliau di masjid Madinah Nabawi, satu-satunya majlis yg ada di sana, karena kalau di mulai majelis ilmu beliau hampir semua majlis yg ada ikut bergabung mengambil faedah. Syaikh Assyinqiti mengatakan bahwa orang tua nabi ahli surga, karena mereka termasuk ahli fatrah lalu beliau menjelaskan hukum hukum yg terkait dengan ahli fatrah. Suatu hari, syaikh Assyinqiti di undang kerumah syaikh Abdullah Azzahim, ketika sampai beliau di sambut hangat oleh syaikh Abdullah dan syaikh Assyinqiti di persilahkan duduk di sebelahnya. Di majlis itu hadir juga para hadirin dari kalangan ahli ilmu, masing-masing mereka membawa buku pegangan. Setelah selesai salam salaman, syaikh Abdullah memperlihatkan kepada syaikh Assyinqiti buku syarah Imam Nawawi tentang hadits – sesungguhnya bapak ku dan bapak kamu masuk neraka. Syaikh assyinqiti berkata: saya sudah tahu hadits ini. Syaikh abdullah azzahim berkata: kemaren antum menyampaikan di pengajian Nabawi bahwa kedua orang tua nabi termasuk ahli fatrah. Syaikh Assyinqiti menjawab: iya. Karena jawaban saya berdasarkan al Qur’an yg qot’iy matan dan qot’iy dilalah, saya tidak bisa menolak nash yg qot’iy matan dan qot’iy dilalah dengan nash yg zhanniy matan dan zhanniy dilalah ketika mentarjih, hadits ini termasuk khabar ahad. Sama dengan hadits Abi Hurairah riwayat Muslim: saya minta izin ke Allah utk mengunjungi ibuku saya diberi izin, lalu saya minta kepada allah utk di ampuni dosa nya namun tidak diizinkan. hadits diatas zhanniy matan maka tidak bisa menolak qot’iy matan yaitu firman Allah: ( al isra’: 15)ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَث رَسُولًا “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” jelas sekali ayat diatas qot’iy matan dan qot’iy dilalah. Berbeda dengan hadits: إن أبي وأباك في النار، hadits ini zhanniy matan dan zhanniy dilalah. Ada kemungkinan أبي maknanya paman nabi: Abu Thalib. Karena orang arab kadang kadang memanggil paman dengan الأب، bisa kita temukan pemakaian ini di dalam al quran: 1. Qot’iy matan dan qot’iy dilalah: Al Baqarah: 133: قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيم َ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ Mereka menjawab, “Kami akan me­nyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Nabi Ismail adalah pamannya nabi Ya’qub. Clear: Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. 2. Qot’iy matan dan zhanniy dilalah: Al An’am:84-86. وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (84) وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِنَ الصَّالِحِينَ (85) وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ (86) “Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami berikan petunjuk dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk.

Jumat, 16 Desember 2016

KITAB FIQIH MUHAMMADIYYAH

KITAB FIQIH MUHAMMADIYYAH KARYA KH. AHMAD DAHLAN (Al-Marhum Al-Maghfur Lahu) ============= GURU DAN AMALIAH KH. AHMAD DAHLAN (MUHAMMADIYYAH) DAN KH. HASYIM AS’ARI (NU) ADALAH SAMA TIADA PERBEDAAN ============= Tulisan kali ini hendak mempertegas tulisan kami yang telah lalu berjudul“Sejarah Awal Muhammadiyah yang Terlupakan”, dimana banyak dari kita belum tahu atau sengaja melupakan sejarah awal Muhammadiyyah. Secara ringkas kami katakan bahwa, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri). Berikut kami kutip kembali ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah”, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah kedua ulama besar di atas tidak berbeda: 1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha...” (halaman 25). 2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...” (halaman 25). 3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim”(halaman 26). 4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27). 5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29). 6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42). 7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50). 8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60). KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i. Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah. Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Dipesantren ini, Mohammad Darwisditemukan dengan Hasyim Asy’ari.Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat. Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama. Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”. Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah. Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya. Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah.Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul 'Ulama'). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya. Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih. Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Saw. Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak. Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.” Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyahbukan Dahlaniyyah”. Masihkah diantara kita yang gemar mencela dan mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul Ulama' sebagai amalan bid’ah, musyrik dan sesat? Semoga penjelasan ini mencerahkan kita semua dan bermanfa'at, Amiin Kitab Fiqih KH.Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah

Kamis, 08 Desember 2016

TABUR BUNGA DI KUBURAN

Dalil Menabur Bunga Di Kuburan Menabur Bunga di Atas Makam Setelah mayit atau jenasah dimasukkan ke liang lahat, dihadapkan ke arah kiblat, lalu pocongnya dibuka dan sudah diadzani, lantas liang ditutup rata dengan tanah. Setelah itu ditaburkan bunga di atasnya. Bunga tadi disiram air agar tidak cepat layu, namun bukan ditujukan sesuatu yang berbau mistik. Sebenarnya tidak harus bunga, pelepah atau ranting-ranting pun boleh, yang penting masih basah atau segar. Hal ini senafas dengan ayat Al-Qur'an QS At-Taghabun ayat 1: يُسَبِّحُ لِلّهِ مَا فِي السَّموَاتِ وَ مَا فِي اْلأَرْضِ Bahwa Semua makhluk, termasuk hewan dan tumbuhan, bertasbih kepada Allah SWT. Akan tetapi, mengenai cara masing-masing membaca tasbih, hanya Allah saja yang tahu. Dan terkait dengan tabur bunga tadi, dihimbau penabumya memilih bunga­-bunga yang masih segar agar bisa memberi “manfaat” bagi si mayit, sebab bunga-bunga tadi akan bertasbih kepada Allah. Hal ini berdasar pada, pertama penjelasan dari kitab Kasyifatus Syubhat hlm. 131: Bahwa disunnahkan meletakkan pelepah daun yang masih hijau di atas kubur/makam karea mengjkuti sunnah Nabi (hadits ini sanadnya shahih). Dijelaskan bahwa pelapah seperti itu dapat meringankan beban si mayit berkat bacaan tasbihnya. Untuk memperoleh tasbih yang sempurna, sebaiknya dipilih daun yang masih basah atau segar. Analog dengan meletakkan pelepah tadi ialah mencucurkan bunga atau sejenisnya. Pelapah atau bunga yang masih segar tadi haram diambil karena menjadi hak si mayit. Akan tetapi, kalau sudah kering, hukumnya boleh lantaran sudah bukan hak si mayit lagi (sebab pelapah, bunga, atau sejenisnya tadi sudah tidak bisa bertasbih). Dalil kedua yakni hadits Ibnu Hibban dari Abu Hurairah yang mengatakan: “Kami berjalan bersama Nabi melewati dua makam, lalu beliau berdiri di atas makam itu, kami pun ikut berdiri. Tiba-tiba beliau meyingsingkan lengan bajunya, kami pun bertanya: ‘Ada apa ya Rasul?’” “Beliau menjawab: ‘Apakah kau tidak mendengar?’ Kami menjawab heran: Tidak, ada apa ya Nabi? Beliau pun menerangkan: ‘Dua lelaki sedang disiksa di dalam kuburnya dengan siksa yang pedih dan hina.’ Kami pun bertanya lagi: Kenapa bisa begitu ya RasuI? Beliau menjelaskan: ‘Yang satu, tidak bersih kalau membasuh bekas kencing; dan satunya lagi suka mencaci orang lain dan suka mengadudomba.’ "Rasulullah lalu mengambil dua pelapah kurma, diletakkan di atas kubur dua lelaki tadi. Kami kembali bertanya Apa gunanya ya Rasul? Beliau menjawab: ‘Gunanya untuk meringankan siksa mereka berdua selagi masih basah.’” Demikian seperti dijelaskan dalam kitab I’anatut Thalibin Juz II hlm 119. Dalil ketiga: Para ulama menjadikan kasus Rasulullah menancapkan dua pelepah kurma yang ditancapkan di alas dua kubur tadi dengan menanam pohon atau bunga, sayang para ulama tidak menjelaskan caranya. Akan tetapi, di dalam hadits shahih disebutkan: Rasulullah menancapkan di masing-masing kuburan itu dan tetap memberi manfaat pada semua ruang. Maksudnya, pelapah itu dapat ditancapkan di mana saja. Abd bin Humaid dalam Musnad-nya mengatakan: Rasulullah menancapkan pelapah itu tepat di arah kepala si mayit dalam kuburnya. Demikian penjelasan dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyah hal 196.

Kamis, 01 Desember 2016

Hari, Bulan Dan Amalan Yang Baik

Maqolah Sayyidina Ibni Abbas RA : - Sebaik-baiknya hari adalah hari jum'at. - Sebaik-baiknya bulan adalah bulan ramadhan. - Sebaik-baiknya amal adalah sholat fardhu lima waktu. Maqolah Sayyidina Ali karromallahu wajhahu : Jika ulama' hukama dan fuqoha ditanya tentang hal tersebut, niscaya mereka akan menjawab sebagaimana Ibni Abbas menjawab, kecuali aku akan menjawab nya : - Sebaik-baiknya amal adalah amalan yang diterima Allah SWT, baik sedikit ataupun banyak. - Sebaik-baiknya bulan adalah bulan dimana engkau melakukan Taubat Nashuha. - Dan sebaik-baik hari adalah hari dimana engkau meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan beriman kepada Allah SWT. *📚Referensi :* Nashoihul Ibad : hal 16 و ) المقالة الاربعون ( عن ابن عباس رضى الله عنهما حين سئل خير الايام و ما خير الشهور و ما خير الاعمال؟ فقال) اى عبد الله بن عباس ( خير الايام يوم الجمعة) لانه سيد الايام اعطاه الله تعالى لهذه الامة المحمد ( و خير الشهور شهر رمضان) لانه انزل فيه القران و فيه ليلة القدر و فيه الصيام الواجب و لان ثواب النفل فيه كثواب الفرض…( و خير الاعمال الصلوات الخمس لوقتها) فانها ابواب الاعمال فاذا فتحت الصلوات فتحت سائر الاعمال و اذا سدت سدت...فقال على رضى الله عنه) و كرم وجهه (لو سئل العلماء و الحكماء و الفقهاء من المشرق الى المغرب) عن تلك المسائل الثلاث ( لاجابوا بمثل ما اجاب به ابن عباس الا انى اقول) فى جواب ذلك ( ان خير الاعمال ما يقبل الله تعالى منك) سواء كانت قليلة او كثيرة ( و خير الشهور ما تتوب فيه الى الله توبة نصوحا)…(و خير الايام مت تخرج فيه من الدنيا الى الله) تعالى بالموت ( مؤمنا بالله)

Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku

Pengertian Dari Kalimat, “Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.” ~ Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i ~ Perkataan Imam mazhab yang empat yang sering disalah pahami adalah seperti perkataan dari al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah: إِنْ صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ “Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.” Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafi'i, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'i maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafi'i, terutama dalam penguasaan ilmu hadits. Perkataan al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah tersebut adalah contoh sikap tawadhu atau rendah hati. Beliau hanya ingin mengingatkan kita bahwa mengikuti pendapat mereka tetap merujuk kepada dari mana mereka mengambilnya yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah menghafal dan mendapatkan hadits langsung dari para Salafush Sholeh. Beliau melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh. Hadits-hadits yang dihafal dan diketahui oleh beliau LEBIH BANYAK dari hadits yang telah dibukukan. Bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tetap bertalaqqi (mengaji ) dengan ulama-ulama bermazhab. Jadi aneh kalau ada ulama yang berpendapat bahwa dia telah menemukan sebuah hadits shahih pada suatu kitab sehingga tidak perlu mengikuti pendapat Imam Mazhab yang empat. Haditsnya shahih, namun pemahaman mereka terhadap hadits tersebut yang menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat. Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, sedangkan Al-Syafi’i TIDAK TAHU terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita HARUS MENGIKUTI hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut TELAH DIKETAHUI oleh Al-Imam Al-Syafi’i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti ditegaskan oleh Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1 / 64. Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab Al-Syafi’i, di mana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab Al-Syafi’i, berdasarkan pesan Al-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh Al-Imam Al-Syafi’i. Al-Imam Al-Hafizh Ibn Khuzaimah Al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam Al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh Al-Imam Al-Syafi’i dalam ijtihad beliau ? Ibn Khuzaimah menjawab, “TIDAK ADA”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer Al-Bidayah wa Al-Nihayah (juz 10, hal. 253). Untuk lebih memahaminya, ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafi'i tersebut. Imam Nawawi mengatakan : وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك “Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafi'i dan langsung mengamalkan dhahir hadits. WASIAT INI HANYA DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG TELAH MENCAPAI DERAJAT IJTIHAD DALAM MAZHAB, sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafi'i tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii TIDAK MENGETAHUI HADIST TERSEBUT ATAU TIDAK MENGETAHUI KESAHIHAN HADISTNYA. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafi'i dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafi'i mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64) Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafi'i tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan. Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafi'i ini dengan kata beliau وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث “Tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah) Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafi'i tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafi'i tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafi'i meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafi'i dan shahabat beliau. IMAM NAWAWI YANG HIDUP DI ABAD KE-6 HIJRIAH MENGAKUI SULITNYA MENDAPATI ORANG YANG MENCAPAI DERAJAT INI, JADI BAGAIMANA DENGAN KITA YANG HIDUP JAUH DARI ZAMAN IMAM NAWAWI ? ----------------------------------------------------- Tentang wawasan Imam Syafi'i dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal : ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي “Tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafi'i." (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr). Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafi'i memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad : يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث “Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.” Imam Ahmad menjawab : إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه “Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr). Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafi'i tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafi'i meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafi'i hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama Mazhab Syafi'i yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafi'i yang menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafi'i memiliki hujjah yang kuat dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95). Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits shahih sedangkan pendapat Imam Syafi'i sebaliknya maka ia langsung mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir hadits. Selain itu perkataan Imam Syafi'i tersebut bukanlah berarti sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam Syafi'i yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau, kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafi'i kepada murid-murid mereka sehingga mazhab Syafi'i tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila Imam Syafi'i semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam Syafi'i melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid. Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada Al-Qur'an dan hadits langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Rafi'i dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafi'i. Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada Al-Qur'an dan hadits hanyalah ajakan untuk mengikuti pemahaman Al-Qur'an menurut mereka yang berarti mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits, ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada mereka juga. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Minggu, 27 November 2016

Oase Iman Buya Yahya

Oleh: Buya Yahya Pengasuh LPD Al-Bahjah www.buyayahya.org www.buyayahya.net www.albahjah.tv Suatu ketika, saat Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain (yang saat itu masih anak-anak) melihat seorang kakek yang sedang berwudhu dengan cara yang salah. Muncullah keinginan dari kedua cucu Rasulullah SAW ini untuk bisa mengingatkan orang tua tersebut, agar amal ibadahnya benar tanpa menyinggung perasaanya. Kemudian Sayyidina Hasan bersepakat dengan Sayyidina Husain untuk berlomba wudhu dan menjadikan sang kakek sebagai juri yang akan menilai kebenaran wudhu mereka. Lomba berwudhu pun dimulai. Dan di akhir perlombaan tersebut, sang kakek pun tersadar bahwa wudhu Sayyidina Hasan dan Husain ternyata lebih benar dan sempurna dari wudhunya sendiri. Ini adalah pelajaran dakwah dari cucu Rasulullah SAW, dengan menyertakan kemuliaan akhlak dan tatakrama dalam mengingatkan orang lain khususnya orang yang lebih tua. Sahabatku, mengingatkan orang lain artinya kita mengajak orang lain agar bisa lebih baik dan benar, bukan untuk menghukuminya sebagai yang salah dan terhinakan. Melihat orang lain dengan penuh kasih sayang dan menghargainya adalah pancaran ketulusan seorang penyeru kebaikan. Dari situlah kejayaan dihadapan Allah SWT akan diperoleh. Pembelajaran ini sangat tepat bagi Juru dakwah termasuk di dalamnya adalah Ustadz dan Kyai. Disaat seseorang menyampaikan kebaikan haruslah ia melihat dirinya sebagai yang membutuhkan pahala dan penghargaan dari Allah SWT dibalik upaya dakwahnya sebelum melihat kepada orang lain sebagai orang yang membutuhkan kepada ajakannya. Makna “membutuhkan” inilah yang menjadikan seseorang tidak kenal putus asa dalam mengenalkan kebaikan kepada orang lain. Hingga ia senantiasa mengambil cara yang paling indah agar ajakannya bisa diterima oleh orang lain sebagai perwujudan makna hikmah yang diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW yang sekaligus harus kita ikuti. Sahabatku, Sayyidina Hasan dan Sayyidia Husain dalam usianya yang masih amat dini ini sangat paham makna hikmah berdakwah, karena mereka adalah cucu dari sumber hikmah, Rasulullah SAW. Beliau berdua tidak ingin menyakiti hati orang tua tersebut dengan “salah menegur” saat sang kakek salah dalam berwudhu. Maka dengan ketulusan dan kerendahan hati, mereka berperan sebagai orang yang ingin benar didalam berwudhu padahal sebenarnya mereka ingin membenarkan wudhu orang lain. “Alangkah mulianya akhlakmu wahai cucu Rasulullah SAW…”. Dan alangkah indahnya siapapun yang ingin mengajak kepada kebaikan lalu mengajak dengan penuh kasih dan ketawadhuan. Sungguh dakwah bukanlah pamer ilmu atau bangga akan sebuah gelar. Akan tetapi dakwah harus berangkat dari keindahan menuju keindahan dan dengan cara yang indah. Dan setelah itu, mari kita bercermin, sadar diri dan mencermati diri dan di sekitar kita! Dimana hikmah dan akhlak kita saat mengajak orang lain kepada kebaikan? Bisakah menuai hasil jika mulut dan lidah kita tidak luput dari kalimat cacian dan penghinaan terhadap orang yang kita anggap salah ? Dimana kasih sayang dan kerinduan kita untuk merindukan orang lain kepada Allah SWT? Jangan sampai ajakan kita kepada Allah berubah menjadi ajakan kepada diri sendiri atau kelompok. Bisakah orang lain rindu kepada Allah jika yang mengajak bukanlah orang yang merindukan Allah SWT? Dari kerinduan kepada Allah inilah akan hadir ajakan yang dirindukan dan penuh kasih untuk menghantarkan hamba-hamba Allah kepada kerinduan kepada Allah SWT yang sesungguhnya.. Wallahu a’lam bisshowab

Sabtu, 26 November 2016

APA ITU MULUKIYYAH?

Baca baik-baik dan perhatikan dengan seksama_ Kaum Mulukiyyah, adalah sekelompok orang yang membangun agamanya berdasarkan kekuasaan. Artinya, mereka patuh dan taat pada rezim penguasa meskipun penguasa itu anti SYARIAT. Tradisi mereka yang sudah lama membudaya adalah, berdalil dengan hadits-hadits tentang wajibnya taat pada pemimpin bla bla bla bla......., dan seterusnya. secara tekstual, hadits-hadits itu memang benar. Tidak ada yang salah dengan hadits-hadits itu. Namun secara kontekstual dalil-dalil itu tidak mereka letakkan pada tempatnya. Contoh sederhana: Mereka menyamakan Presiden dengan Khalifah. secara lisan memang tidak, tetapi sikap di lapangan begitu adanya. Sehingga melahirkan prilaku yang kontradiktif. Mereka menyamakan sistem pemerintahan islami dengan sistem pemerintahan demokrasi. Seakan-akan mereka menyamakan Jokowi dengan Khalifah 'Ali. Ini kan tidak masuk akal namanya. Tapi begitulah doktrin mereka. sehingga memancing respon sejumlah pakar hadits dan tokoh ummat di negeri ini. diantaranya Ustad DR. Anung Al-Hammat,Lc.M.Pd. beliau menulis buku khusus mengkritik tajam pemikiran kelompok mulukiyyah ini. buku itu berjudul "Mewaspadai Pemahaman Neo Murji'ah". Nah berangkat dari itu semua, mereka lemparkan tuduhan "khawarij" kepada setiap muslim yang tidak sependapat dengan faham pemerintah atau yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. itu mereka lakukan diberbagai kesempatan; baik di majelis-majelis taklim mereka, radio-radio mereka, dan media-media dakwah mereka; seperti majalah, buku, dan yang semisalnya. Mereka lontarkan tuduhan "Hizbi", "Khawarij", atau "Ahli Bid'ah" kepada setiap kalangan yang tidak sepemahaman dengan mereka. Kebenaran itu hanya milik mereka, kelompok mereka, ustad mereka, dan radio mereka. Sedangkan selainnya sesat semua. Walhasil, surga itu hanya kavling milik mereka dan kelompoknya saja. Bahasa dan slogan yang sering mereka gunakan misalnya adalah: "ah itu bukan ustad sunnah", "ah itu bukan ustad salaf", dan seterusnya. Nah inilah prilaku Talaf, artinya prilaku yang "merusak". Maka orang-orang yang bermanhaj Mulukiyyah seperti ini sering juga disebut dengan istilah "Talafi". Yang artinya kaum perusak. Merusak apa? Merusak persatuan, merusak kedamaian, merusak persaudaraan dan cinta kasih sesama muslim, merusak hati dan keimanan, dst. Intinya, hampir semua sisi kehidupan ummat mereka rusak dengan DOKTRIN-DOKTRIN, propaganda, dan pembodohan secara massif. Sehingga mereka disebut kelompok 'Talafi' atau 'Talafiyyun'. Artinya, 'Kaum Perusak'. Singkatnya begini, Talaf itu prilakunya. dan Mulukiyyah itu ajarannya atau pola fikirnya. UNIKNYA, prilalu mereka sangat licik dan standar ganda. Ketika mereka di kritik terbuka dan disebut "Mulukiyyah", mereka tidak terima sembari membantah. Mereka tidak terima. Kejang-kejang dan teriak-teriak seperti kuntilak beranak dalam kubur. Tapi pada saat yang sama, lisan mereka begitu tajam menyesatkan orang lain. Mereka begitu gampang memvonis orang lain dengan tuduhan "hizbi", "quthubiy", "takfiri", "khawarij", dan seterusnya. Seolah-olah hanya mereka yang berhak masuk Surga dan menyandang predikat "pengikut salaf sejati", sedangkan selain mereka bukan. Demikianlah ciri utama kelompok MULUKIYYAH itu. Allahul Musta'an.

MANUSIA TERBAGI EMPAT GOLONGAN

Dawuh Syeikh Abdul Qodir al-Jailani Q.S. bahwa manusia itu terbagi atas empat golongan : PERTAMA ; Golongan orang yang tidak mempunyai lisan dan hati. Mereka adalah golongan pelaku ma'siyat juga bodoh, maka berhati hatilah agar engkau tidak menjadi bagian dari mereka, karena mereka ahli adzab. KEDUA ; Golongan orang yang hanya mempunyai lisan namun tidak memiliki hati. Mereka berbicara dan menyampaikan hikmah namun tidak mengamalkannya, mereka mengajak manusia kepada Allah, namun mereka lari menghindar dari Allah. Jauhi mereka, agar engkau tidak terlena oleh lisannya dan kemudian engkau ikut terbakar oleh ma'siyat yang dilakukannya, dan kemudian bau bangkai hati mereka membunuhmu. KETIGA ; Golongan orang yang hanya mempunyai hati namun tak punya lisan. Mereka adalah orang yang beriman yang sengaja Allah menutupi mereka dari pandangan manusia, Allah menganugrahkan mereka hanya melihat pada aib dan kekurangannya, Allah menyinari hati mereka, dan Allah memberitahu mereka akan kerusakan ketika bergaul dengan manusia, dan kerusakan ketika berbicara dengan ucapan yang buruk. Mereka adalah waliyullah, mereka terjaga dalam satar Allah, mereka melaksanakan segala kebaikan, maka carilah mereka , gauli mereka, berkhidmahlah pada mereka, niscaya Allah mencintaimu. KEEMPAT ; Golongan orang yang belajar ilmu dan mengajarkan ilmu serta mengamalkan ilmunya. Mereka adalah al-'aalim billahi, mereka mengetahui Allah dan pada ayat-ayatNya. Allah menitipkan kepada mereka, ilmu yang agung, Allah lapangkan dada/hati mereka untuk menerima berbagai ilmu pengetahuan. Maka hati hati dan waspadalah, jika engkau menyalahi dan menjauhi mereka, serta tidak kembali pada nasihat nasihatnya. 📚Rujukan Kitab : Nashoihul 'Ibad : hal 15 والناس تنقسم الى اربعة اقسام كما قاله سيدى عبد القادر الجيلاني قدس الله سره: رجل لا لسان له ولا قلب، وهو العاصى العر فاحذر ان تكون منهم ولا تقم فيهم فانهم اهل العذاب. ورجل له لسان بلا قلب، فينطق بالحكمة ولا يعمل بها، يدعو الناس الى الله تعالى وهو يفر منه لئلا يخطفك بلذيذ لسانه فتحرقك نار معاصيه ويقتلك نتن قلبه. ورجل له قلب بلا لسان وهو مؤمن ستر الله عن خلقه وبصره بعيوب نفسه ونور قلبه وعرفه غوائل مخالطة الناس وشؤم الكلام، فهذا رجل ولي الله تعالى محفوظ فى ستر الله تعالى، فالخير كل الخير عنده، فدونك ومخالطته وخدمته فيحبك الله تعالى. ورجل تعلم وعلم وعمج بعلمه وهو العالم بالله تعالى وآياته، استودع الله قلبه غرائب علمه وشرح صدره لقبول العلوم، فاحذر ان تخالفه وتجانبه وةرك الرجوع الى نصيحته.

Jumat, 18 November 2016

TABARUK BESERTA RUJUKANNYA.

*Dalil Tentang Bolehnya Bertabaruk* Bertabarruk yang dimaksud di sini, adalah seseorang yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah dari sesu atu yang diyakini baik, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.Adakalanya dengan mengambi sesuatu, atau mengusap sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan sesuatu dengan tujuan mencari barakah.Ada seseorang yang menjalankan bisnis milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari barakah, karena si pemilik modal tiada lain adalah kiai/ustadz/guru agama-nya. Ada juga yang sengaja mencium tangan atau bahkan dada seseorang yang dianggap shaleh maupun `alim dengan tujuan mencari barakah. Atau mendatangi seorang yang shaleh dengan membawa air lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa kesembuahan dan sebagainya, senuanya itu bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya. Adapun amalan-amalan yang tertera di atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi saw. sebagaimana yang ditulis para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara lain : (1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang disebutkan juga dalam kitab Almathaalibul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatkan dari Ja`far bin Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima perang tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya, lantas beliau meminta tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu. Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala Rasulullah saw. berumrah, beliau saw. mencukur rambutnya saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya, mereka berebut rambut Rasulullah saw., kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah saw. ini, maka tidak pernah aku memimpim peperangan kecuali selalu diberi kemenangan oleh Allah. (2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad, meriwayatkan dari Almasur bin Makhramah dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah (tokoh kafir Quraisy) memperhatikan perilaku para shahabat Nabi SAW., lantas mengkhabarkan kepada kawan-kawannya sesama kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para raja, aku menjadi delegasi menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi, tetapi demi tuhan belum pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam menghormati para raja itu, seperti cara para shahabat dalam menghormati Muhammad (SAW.), demi tuhan, setiap Muhammad meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-lebar untuk menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang mendapatkan ludah itu pasti langsung diusapkan pada wajah dan kulit masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad memrintahkan sesuatu, mereka bergegas menjalankannya. Jika Muhammad berwudlu mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk (bertabarruk) mendapatkan air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahkan suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad dengan lama-lama karena rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya. (3). Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi saw. datang ke Mina, lantas melaksanakan lempar Jumrah, kemudian mencukur rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk mengumpulkan rambutnya, dan beliau saw. membagikannya kepada masyarakat muslim. (2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang mengatakan bahwa Nabi saw. menyerahkan potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau saw. memerintahkan : Bagikanlah kepada orang-orang. (3). Imam Muslim meriwayatkan juga dari shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi saw. beristirahat tidur di rumah kami sehingga beliau saw. berkeringat, lantas ibu kami mengambil botol dan menampung tetesan keringat Nabi saw., kemudian Nabi saw. terbangun dan bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab : Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia lebih harum dari semua jenis parfum. (4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami mengharapkan barakahnya untuk anak-anak kami. Lantas Nabi saw. bersabda : Engkau benar. (5). Imam Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah saw. berhijamah (canthuk), beliau saw. bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan tanamlah jangan sampai ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..! Lantas aku bawa menjauh dan aku minum, kemudian aku ceritakan kepada beliau saw., maka beliau tertawa. (6). Imam Thabarani juga meriwayatkan hadits penguat, Nabi saw. bersabda : Barangsiapa yang darah (daging)-nya bercampur dengan darahku, maka tidak bakal disentuh api neraka. (7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir ke rumah Ummu Sulaim, yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum) menggantung, lantas beliau saw. meminumnya secara langsung dari bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk bertabarruk dari sisa bekas tempat minum Nabi saw. (8). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis riwayat hadits dari Yahya bin Alharits Aldzimaari berkata : Aku menemui Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat Rasulullah dengan tanganmu ini ? Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanlah tanganmu untukku, dan aku akan menciumnya. Kemudian beliau memberikan tangannya kepadaku, dan akupun menciumnya. (HR. Atthabarani). (9). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami melintas di Arrabadzah, lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan salam. Lantas beliau RA menjulurkan tangannya seraya berkata : Aku membaiat Nabi saw. dengan kedua tanganku ini...! Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya. (10). Imam Bukhari meriwayatkan dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluarkan baju jubbahnya Nabi SAW. dan berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw., yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku simpan...! Dulu Nabi saw. mengenakan jubbah ini, sekarang sering kami cuci (dan airnya khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan (dengan bertabarruk dari air bekas cucian jubbah tersebut). (11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim, hal 367, meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbolehkan amalan mengusap mimbar masjidnya Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan, karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar Nabi saw. tersebut. Masih banyak bukti hadits-hadits Nabi saw. tentang bolehnya bertabarruk kepada barang-barang milik Nabi saw., serta milik orang-orang shalih, dengan berbagai macam bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan Nabi saw. dan para wali serta orang-orang shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah karena mempertuhankan barang-barang tersebut, tentunya diharamkan oleh syariat Islam. Termasuk diharamkan juga adalah perilaku orang awwan yang menyembah dan memberi sesajen kepada tempat-tempat maupun kuburan-kuburan angker yang diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal tempat-tempat tersebut bukanlah tempat yang berbarakah dalam standar syariat Islam. *"SEMOGA BERMANFAAT"*

Kamis, 17 November 2016

HUKUM DALAM ISLAM

"JAWABAN BAGI MEREKA PERTANYAAN SEPUTAR TAHLILAN & HUKUM-HUKUM NYA" Dalam keyakinan para ulama Aswaja, sumber hukum Islam itu ada 4: 1. Nash Alquran 2. Nash Hadits 3. Ijma' Ulama (khususnya para shahabat). 4. Qiyas. Jadi tidak semua amalan umat Islam, khususnya dalam bidang amalan Sunnah itu, harus ada dalil Qath'i dari Alquran atau Hadits (apalagi contoh langsung dari Nabi S.A.W). Karena Alquran dan Hadits juga sudah membuka lebar pintu Ijtihad bagi para ulama yg kompenten di bidangnya, hingga dapat dijadikan rujukan umat Islam. فاسألوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون Tanyalah kepada ahi ilmu (ulama) jika kalian tidak memahaminya. العلماء ورثة الانبياء Ulama itu adalah pewaris para nabi Masih banyak dalil tentang bolehnya umat Islam mengikuti ijtihad para ulama. Tahlilan dengan cara "MENGISLAMKAN ADAT" termasuk dari hasil ijtihad serta qiyas yg dilakukan oleh para ulama jaman dahulu kala (Salaf). Ini juga termasuk mencontoh Nabi Muhammad SAW saat 'MENGISLAMKAN ADAT YAHUDI' yang selalu berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram), namun dg dirobah menjadi puasa sunnah setiap tgl 9-10 atau 10-11 Muharram, lantas diqiyaskan dengan pelaksanaan Tahlilan. Bahkan Nabi S.A.W bersabda: اقرؤوا يس على موتاكم Bacakan surat Yasin untuk mayit kalian. Berikut cacatan tentang bolehnya berijtihad dengan syarat-syarat tertentu sesuai yang ditulis oleh KH. Luthfi Bashori sebagai berikut: BOLEH BERIJTIHAD ASALKAN... ! Luthfi Bashori Sy. Muadz bin Jabal RA mengisahkan, ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman beiau SAW bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan jika dihadapkan kepadamu suatu masalah?” Sy. Muadz bin Jabal RA menjawab, “Aku pututskan dengan hukum yang ada di Al-Quran.” “Jika tidak ada hukumnya di dalam Al-Qur’an?” tanya Nabi SAW. Sy. Muadz katakan, “Aku putuskan berdasrkan Sunnah Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW bertanya kembali, “Jika tidak hukum-Nya dalam As-sunnah?” “Aku akan berijtihad dengan pendapatku,” tegas Sy. Muadz bin Jabal Ra. Nabi Muhammad SAW menepuk dadanya. “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul-Nya, demi keridhaan Allah dan Rasulu-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi) Menurut para ulama, tidak semua orang dibenarkan melakukan ijtihad. Seseorang yang melakukan ijtihad haruslah memiliki banyak persyaratan pokok, antara lain: 1. Memahami dengan sungguh-sungguh tafsir ayat-ayat Al-Quran dengan asbabun nuzulnya (yakni sebab-sebab turunnya Al-Quran), ayat-ayat nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapus), dan gharaibul Quran. 2. Memahami hadits dan asbabul wurudnya (sebab-sebab munculnya hadits). Nasikh mansukhnya, serta delik ilmu musthalah haditsnya. 3. Menguasai bahasa Arab, baik grametikal maupun conversationnya dan seluruh cabang nahwu maupun dialegnya. 4. Mengetahui tempat-tempat hasil ijma’ para shahabat serta para ulama salaf ahli ijtihad sebelumnya. 5. Memahami ushul fiqih secara detil. 6. Memahami maksud-maksud syariat (maqashidus syariah) 7. Memahami masyarakat dan adat-istiadatnya sebagai obyek ijtihadnya. 8. Secara pribadi mempunyai sifat adil dan taqwa, menurut setandar para ulama. 9. Mengusai ilmu ushuluddin/ tauhid/ aqidah (salah satu cabang dari ilmu-ilmu keislaman yang membahas pokok-pokok keyakinan dalam Islam. 10. Memahami ilmu mantik (logika) yang rasional. 11. Meguasai cabang-cabang ilmu fiqih. 12. Dan sebagainya. Jika persyaratan di atas ini belum terpenuhi, maka haram bagi seseorang untuk berijtihad dalam urusan bersyariat, namun kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti hasil ijtihad para ulama terdahulu, yang mana mereka telah menyusun kitab-kitab fiqh untuk memudahkan umat Islam yang belum mampu berijtihad dalam melaksakan kewajiban bersyariat. Adapun dewasa ini, hasil ijtihad para ulama Salaf yang diakui keabsahannya dan kevalidannya oleh dunia Islam itu ada pada empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Maka jika ada madzhab lain yang dimunculkan selain dari empat madzhab ini, maka dihukumi sebagai madzhab yang syadz atau menyimpang. Sedangkan para ulama yang hidup di jaman sekarang dan memenuhi syarat ijtidah, sekalipun belum sampai pada standar keilmuan para mujtahid mutlaq (setara Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal) jika mereka berijtihad terhadap suatu permasalahan keumatan yang sedang berkembang, maka dapat dibenarkan selagi tidak keluar dari koridor aturan dari salah satu empat madzhab di atas, maka hasil ijtihadnya itu dapat dicetuskan dalam bentuk fatwa. SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 13 November 2016

BERSALAMAN

ASWAJA ITU APA?

SIAPA ITU SYEIKH ALBANI

ILMU

Ilmu adalah seluruh wahyu yg diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Ilmu berbeda dgn pengetahuan, pengetahuan bisa berubah sesuai dgn suasana dan keadaan, tetapi ilmu tdk akan pernah berubah walaupun suasana dan keadaan berubah. Pengetahuan adalah seni; seni kedokteran, seni pertanian, seni perdagangan dsb. Abdullah bin umar ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, Ilmu ada tiga, selain dari ketiga itu adalah tambahan, yaitu; 1. ayat ayat muhkamat (ayat al Qur'an yg telah jelas ketetapannya) 2. sunnah yg tegak (hadits Nabi SAW yg tsabit dgn sanad yg shahih), 3. kewajiban yg tegak (hukum-hukum yg berasal dari al Quran dan hadits, berupa ijtihad, ijma' atau qiyas). (Hr. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim- Kanzul Ummal) Manfaat ilmu yg paling utama adalah menimbulkan kemampuan utk melihat kebaikan org lain. Apabila seseorang mengukur org lain dgn ilmunya, berarti dia masih memiliki sifat sombong dan ilmu yg diperolehnya sia-sia. Niat menuntut ilmu utk memperbaiki amal diri sendiri, bukan utk memperbaiki amal org lain. Semakin pandai seseorang, merasa semakin bodoh dan merasa banyak yg tdk diketahuinya. Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa yg berkata, sesungguhnya aku org yg berilmu, maka dia adalah org yg jahil. (Hr. Thabrani) Ilmu yg mendatangkan rasa takut dan harap hanya kepada Allah SWT. Tanpa rasa takut kepada Allah SWT, seseorang tdk akan taat kepada-Nya. Firman Allah; Sesungguhnya Yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya, hanyalah ulama. (Qs. Faathir: 28) Yg dimaksud dgn rasa takut adalah mengamalkan ilmu yg dianugrahkan oleh Allah SWT utk memperhambakan diri hanya kepadaNya sebagai ciri-ciri org berilmu. Bersedia semua menuntut ilmu. Insya Allah...........

AL BAHJAH TV

Hidupkan Malam Hari Raya

Wasiat KH. Abdul Karim Lirboyo: Hidupkan Malam Hari Raya! @suara_nahdliyyin Berikut ini amalan pada malam Hari Raya (Idul Adlha dan Idul Fitri), seperti disebut dalam kitab Kanzun Najah Was Surur, karya Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dan riwayat dawuh Syaikh Abdul Karim Lirboyo (Mbah Manab) oleh Syaikhina KH.Maimoen Zubair. Nabi Muhammad SAW bersabda: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط. Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah SAW bersabda: Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati. HR.Thobaroni عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi SAW, bersabda: Barangsiapa menegakkan dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap ALLOOH, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. HR. Ibnu Majah. Bagaimana cara menghidupkan/ menegakkan dua Hari Raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan: 1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau memperbanyak sholat sunnah dan bacaan2 dzikir. 2. Syaikh Al Wanna’i dalam risalahnya: Barangsiapa membaca istighfar seratus kali (100×) setelah Sholat Shubuh di pagi Hari Raya, maka akan dihapus dosa-dosanya di dalam buku catatannya, dan pada hari kiamat akan aman dari siksa. 3. Masih dari Syaikh Al Wanna’i: Barangsiapa membaca , سبحان الله وبحمده subhaanaLLooh wabihamdihi 100× pada Hari Raya, dan menghadiahkan pahalanya untuk ahli kubur, maka para ahli kubur berkata,”Wahai Dzat Yang Maha Penyayang, rahmatilah ia, dan jadikanlah ia ahli surga”. 4. Syaikh Al Fasyni berkata dalam Tuhfatul Ikhwan: Dari Sahabat Annas, dari Kanjeng Nabi SAW, dawuh (yg artinya): Hiasilah dua Hari Raya dengan tahlil, taqdis, tahmkd dan takbir”. Nabi juga dawuh: Barangsiapa yang membaca: سبحان الله وبحمده SubhaanaLLooh wabihamdihi 300× dan ia menghadiahkan untuk muslimin yg sudah wafat, maka seribu cahaya akan masuk di setiap kuburan, dan Gusti Allooh akan memasukkan seribu cahaya ke kuburnya jika ia meninggal. 5. Syaikh Az Zuhri berkata: Sahabat Anas r.a. berkata, Nabi SAW dawuh (yg artinya): Barangsiapa di dua Hari Raya mengucapkan: لا اله الا الله وحده لا شريك له، له الملك و له الحمد يحي و يميت و هو حي لا يموت بيده الخير وهو على كل شيئ قدير sebanyak 400× sebelum Sholat ‘Ied, maka Gusti Allooh SWT akan menikahkannya dg 400 bidadari, seakan memerdekakan 400 budak, dan Gusti Allooh SWT mewakilkan para malaikat untuk membangun kota-kota dan menanam pohon-pohon untuknya di hari kiamat. Beliau Syaikh Az Zuhri berkata: “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Sahabat Anas r.a. Dan Anas r.a. dahulu jg berkata: “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Nabi SAW.” Wasiat KH. Abdul Karim Lirboyo Diriwayatkan dari Syaikhina Wa Murobbi Ruuhina KH.Maimoen Zubair, dari Syaikh Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, beliau dawuh: “Sak makendut-makendute santri ojo nganti ora ngurip-urip malem rioyo loro, kanthi sholat ba’diyah Isya’ rong rakaat ditambah sholat witir sak rakaat”. Artinya: “Senakal-nakalnya santri jangan sampai tidak menghidupkan dua malam hari raya (Idul Fithri dan Idul Adlha) dengan melaksanakan sholat sunah minimal dua rokaat setelah Isya’ dan satu rokaat witir” WaLLoohu A’lam Bishshowaab….

Sabtu, 12 November 2016

DALIL YASINAN

YASINAN... 🍃Bacakanlah surat Yasin terhadap orang-orang mati di antara kalian قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "اقرءوها على موتاكم" يعني يس 🌹Rasullullah ﷺ Bersabda: Bacakanlah surat tersebut terhadap orang-orang yang mati di antara kalian." Yaitu surat yasin" (Hr.Ahmad) ورواه أبو داود ، والنسائي في " اليوم والليلة " وابن ماجه من حديث عبد الله بن المبارك ، به إلا أن في رواية النسائي : عن أبي عثمان ، عن معقل بن يسار . 📜Hadis tersebut juga di riwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa'i di dalam kitab Al-Yaum walLaila, dan juga Ibnu Majah melalui hadis Abdullah bin Mubarak dengan sanad yang sama, hanya di dalam riwayat Imam Nasa'i disebutkan dari Abu Usman dari Ma'qal bin Yasar. 📚Di kutib dari Tafsir Ibnu Katsir Surat Yasin. 📥 DOWNLOAD scan kitabnya 👇 https://goo.gl/GJPQ5G 🌴Keterangan tambahan : Hadis tersebut Sahih menurut Al- Hafidz ibnu Hibban dan Al-Hafidz Al-Hakim, dan Al-Hafidz imam Abu Daud tidak mendhaifkanya. 👇 ٤٠٢٦ - عن معقل بن يسار أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: " اقرءوا على موتاكم يس ". (بلوغ المرام ١٠٧/١) ** قال الحافظ فى " البلوغ " ١ / ١٠٧: صححه ابن حبان. ** قال الإمام النووى فى " الأذكار " ١ / ١٢٢: فيه مجهولان لكن لم يضعفه أبو داود. ** تعقيب: قال عبد القادر الأرناؤوط ١ / ١٢٢: قال ابن علان فى شرح الأذكار قال الحافظ: وأما الحاكم فتساهل فى تصحيحه لكونه من فضائل الأعمال وعلى هذا يحمل سكوت أبو داود والعلم عند الله. قال الحافظ: ووجدت لحديث معقل شاهدا عن صفوان بن عمرو عن المشيخة أنهم حضروا غضيف بن الحارث حين اشتد سوقه فقال هل فيكم أحد يقرأ يس؟ قال: فقرأها. والله أعلم........

KAJIAN RINGAN KULLU BIDAH

Oleh Von Edison Alousci Saya mau mengajak anda semua memahami bagaimana cara memahami makna bidah sebenarnya krn kesalahpahaman inilah yg membuat tetangga sebelah membuat aturan baru bahwa segala amal perbuatan di ukur ada bidahnya atau tdk. . Perbuatan mereka ini justru aktipitas bidah sesat krn mengacaukan pemahaman umat. . Mari simak bahasan sederhana sbb : . Perhatikan kalimat ini : ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻭﻛﻞ ﺿﻼﻟﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ Jika di cermati ada 2 muqaddimah. . 1. kullu bid'atin dolalatun 2.wakullu dolalatin finnar. Seandainya muqaddam dan ta'ali nya Dilakukan penggabungan pd beberapa fashalnya,maka bakal muncul Satu natijah. Perhatikan : Kullu bid'atin dholalalah, wakullu dholalatin finnar. Kalau dibuang mahmul pada muqaddimah sughronya kemudian buang mudhaf maudhu pada muqaddimah kubranya..lantas kita gabungkan keduanya maka menjadi 1 qadiyah saja. Al hasil kalimat itu menjadi. ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ Kullu bid'atin dholalatin finnar. Setiap bid'ah yang sesat, tempat nya di neraka. Nah..Mafhum muwafaqahnya adalah jelas kalau pelaku bid'ah yang di maksud Nabi adalah perbuatan yg menyimpang dari syariat semisal mencuri,menipu,membunuh yg bukan haknya,korupsi,berjudi,zinah,seingkuh..pkoknya yg merugikan umat alias amal perbuatan yg tdk ada label halalnya. Sementara mafhum mukhalafahnya sudah pasti Pelaku yang mengerjakan Bid'ah yang hasanah itu tidak masuk neraka dan malah dberi pahala Sebab ada hadist yg menjelaskan bahwa setiap perbuatan baik walau tdk ada contohnya boleh boleh saja. . Kalo tdk di pahami begitu maka akan ada dua hadits yg bertentangan. Dan tdk mungkin Nabi plin plan mau membingungkan umat.iya kan ? . perhatikab hadits yg terlihat berlawanan dgn hadits bidah padahal sebenarnya nabi menjelaskan maksud bidah itu sendiri : .. Sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda: ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲْ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲْ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ ‏(ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ) Perhatikan artinya : “Barang siapa MERINTIS dalam agama Islam perbuatan yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. . Dan barang siapa MERINTIS dalam Islam perbuatan yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa daru Orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim) . Nah karena itu itulah al-Imam asy-Syafi’i berkata: ﺍَﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﺑِﺪْﻋَﺘَﺎﻥِ : ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩَﺓٌ ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٌ، ﻓَﻤَﺎ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟﺴُّـﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩٌ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﺎﻟَﻔَﻬَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻡٌ . “Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari) . Yang mengaku bermadzab terutama madzab safii harus mempercayai Imam safii jk tdk maka ia bukan madzab safii tetapi madzab muhammad bin abdul wahab nejed alias madzab bodong yg tdk di akui mayoritas umat islam. Intaha. . Sebarkan . . Rosululloh SAW bersabda yang artinya: . “Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya.” (HR. Imam Muslim).

DALIL TAHLILAN 7-40-100-1000

Ketika mengomentari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini : عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري “Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]). Ibnu hajar menyatakan.. وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحه والمداومه على ذلك وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثه ليس على التحريم “Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin. Hadits ini juga mengandung dalil, bahwa larangan berziarah ke selain Masjid yang tiga, bukan larangan yang diharamkan.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).

MELURUSKAN SHOF DALAM SHOLAT YG BENAR

KAJIAN TENTANG CARA MELURUSKAN SHOF DALAM SHOLAT; MENEMPELKAH? Bukan hal yg aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”. Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yg suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain? Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yg mengalami dipepet-pepet seperti itu. Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat, ”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.” Beberapa hari yg lalu sy ditanya seseorang tentang hadits keharusan mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwyatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yg disinyalir menjadi pijakan teman2 yg beranggapan bahwa kaki harus benar2 nempel dengan kaki jamaah lain. Masalah ini mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab2 para ulama yg mu'tamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama dalam hal ini. A. Nash Hadits Tidak keliru kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan hadits2 yg shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan. Namun kalau kita teliti di hulunya, rata2 semuanya kembali kepada dua di level shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma. Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yg shahih. Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan? Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini. Sebab kajian yg ilmiyah adalah kajian yg berciri hati2 dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa para ulama. 1. Hadits Riwayat Anas bin Malik حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ» Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallallah alaih wa sallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yg menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.(HR. Al-Bukhari) Al-Imam Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab As-Shahih, pada , hal. 1/146. Catatan Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan redaksi [القدم], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki. 2. Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 diantara kami ada yg menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya. (HR. Bukhari) Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yg sama dengan hadits di atas. Catatan Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki2 menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu. Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits2 ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378, Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28, Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123] Catatan Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu melihat seorang laki2 yg menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya. B. Kajian dan Pembahasan Hadits Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini. Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yg cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yg melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini. 1. Syeikh Bakr Abu Zaid : Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama Saudi Arabia Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yg pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul (tidak ada yg baru dalam hukum shalat), hal. 13. Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani : وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذر والتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر. Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yg nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yg mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yg susah dilakukan. Bakr Abu Zaid melanjutkan: فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela2. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela2, istiqamah dalam shaf, bukan benar2 menempelkan. Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar2 menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf. 2. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Mari kita telusuri lagi pendapat yg lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki. أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة. Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar2 lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat. Lihat : Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/ 311 Ternyata Shaleh Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar2 lurus. Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya. 4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yg menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan: حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام. Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yg dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. (Ibnu Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/ 282.) Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki. Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H). Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan: الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211] Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya. C. Point-Point Penting Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf. Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi atau bentuk perintah yang secara nash beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka? Dan nyatanya tidak ada ucapan seperti itu. 1. Menempelkan mata kaki dalam shaf bukan tindakan atau anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud? Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yg benar terhadap hadits shahih. Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ Tegakkah barisan kalian Itu yang beliau Shallahu 'alaihi wa sallam katakan. Sama sekali beliau tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yg tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat2 Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid2 pendukungnya saja. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu. 2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan: [وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami [رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari kami [فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang laki-laki Meskipun dengan redaksi yg berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yg melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf. Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan: ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain. (Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99) Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki2 pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits? 3. Anas tidak melakukan hal itu Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yg mereka lihat. Kenapa? Karena yang melakukannya bukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. Dan para shahabat yg lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim. Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik: وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yg lepas. [Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211] Jika menempelkan mata kaki itu sungguh2 anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yg shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya. Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini. 4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah? Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yg dilakukan di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang beliau diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga. Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu. Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yg dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yg tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat2 Allah. Ini adalah sebuah fatwa yg agak emosional dan memaksakan diri. Dan yg pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yg pernah mendukungnya. Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara2 ada shahabat makan daging dhob (biawak), dan kebetulan memang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering2 makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat2 Allah. 5. Susah Dalam Prakteknya Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yg bisa mempraktekannya. Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf. D. Kesimpulan Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat? Ada dua pendapat; pertama yg mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan dia mengatakan bahwa yg mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah. Pendapat kedua, yg mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jika pun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid. Sampai saat ini belum ditemukan pendapat ulama madzhab empat yg mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat. Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik. Wallahu a’lam Demikian Ibnu Mas'ud At-Tamanmini menjelaskam dan semoga bermanfa’at. Aamiin والله الموفق الى اقوم الطري

PENCETUS MAULID NABI

Al Hafidz al-Dzahabi menyatakan... Orang yang pertama kali melakukan Maulid adalah penguasa Irbil, Raja al Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin (549-630 H, IPAR SULTAN SHALAHUDDIN), salah seorang raja yang agung, besar dan mulia. Ia memiliki riwayat hidup yang baik. Dan dia telah memakmurkan masjid Jami' al Mudzaffari di Safah Qasiyun. Bahkan al Dzahabi berkata: "Ia raja yang rendah diri, baik, Sunni (pengikut Ahlisunnah wal Jama'ah) dan mencintai ulama fikih dan ahli hadis" (Siyar A'lam an Nubala', XXII/336) Begitu juga Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam kitab Tarikh-nya, bahwa Malik al Mudzaffar _IPAR SULTAN SHALAHUDDIN_ mengamalkan maulid Nabi di bulan Rabi'ul Awal dan melakukan perayaan yang besar. Dia adalah cerdas hatinya, pemberani, tangguh, cerdas akalnya, pandai dan adil. Semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya.

MENG ADA-ADA DALAM IBADAH

KAJIAN TENTANG MELAKUKAN AMALAN YANG TIDAK ADA PERINTAH DAN LARANGAN, BOLEHKAH? Ada ungkapan kaidah fiqhiyah yg dijadikan hujjah andalan salafi wahabi terkait amalan yg tidak ada perintahnya itu adalah amalan bid’ah dan haram dilakukan sbb: قاعدة: الأصل في العبادات التحريم. فلا يجوز للإنسان أن يتعبد لله -عز وجل- بعبادة، إلا إذا ورد دليل من الشارع بكون تلك العبادة مشروعة Kaidah : Hukum asal ibadah adalah haram, tidak dibolehkan bagi manusia jika beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla sampai adanya dalil yg memerintahkan itu ibadah sebagai ibadah yg disyare’atkan. Benarkah demikian? Imam Syafi’i berkata mengenai kaidah asal satu ibadah, اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف “Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil yg membolehkan atau melarangnya).” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata, أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف “Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80). Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata, لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ “Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaidah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam. Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan, الأصل في العبادات التوقيف “Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil).” Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syar’iyah, أَنَّ الْأَعْمَالَ الدِّينِيَّةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَّخَذَ شَيْءٌ سَبَبًا إلَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوعَةً فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ مَبْنَاهَا عَلَى التَّوْقِيفِ “Sesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil.” Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya- berkata, إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ “Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17) Setelah memperhatikan pandangan dan pendapat para ulama diatas tentunya kita memahami bahwa ternyata amalan ibadah itu tawqif, artinya belum diketahui apakah amalan tersebut itu wajib, haram, sunah atau mubah? Untuk mengetahui sebuah ibadah itu wajib, haram, sunah atau mubah semua bermuara pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yg tentunya dalam memahaminya harus mengikuti penjelasan para ulama. Jadi tidak segitu mudahnya kita menghukumi suatu amalan itu bid’ah, salah dan harus dijauhi manakala belum adanya larangan dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr : 7) عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa saja yg aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yg aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yg membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka'." [HR. Bukhâri dan Muslim]. Hadits di atas dengan redaksi seperti itu diriwayatkan oleh Muslim dan ath-Thahâwi [Kitab Musykîlul-Âtsâr, no. 548] dari riwayat az-Zuhri dan Sa'îd bin al-Musayyib dan Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Hadits di atas juga diriwayatkan dari beberapa jalan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan lafazh: ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ سُؤَالُهُمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَاءِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. “Biarkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan pada kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa oleh pertanyaan dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jika aku melarang sesuatu terhadap kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian.” Dalam riwayat lain disebutkan latar belakang hadits di atas dari riwayat Muhammad bin Ziyâd dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami, kemudian beliau bersabda: أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَسَكَتَ. حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لَوْ قُلْتُ : نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ. "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah". Seseorang berkata, ‘Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?’ Maka beliau diam hingga orang tersebut mengulanginya sampai tiga kali, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kalau aku katakan ya, niscaya hal tersebut menjadi wajib, dan niscaya kalian tidak akan sanggup," kemudian beliau bersabda, "Biarkanlah aku terhadap apa yg aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang2 sebelum kalian binasa karena pertanyaan dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakan semampu kalian. Dan jika aku melarang sesuatu pada kalian, tinggalkanlah". [HR Muslim, no. 1337. An-Nasâ`i, V/110, 111. Ahmad, II/508. Al-Baihaqi, VI/326. Ibnu Khuzaimah, no. 2508. Ath-Thahâwi dalam Musykîlul-Âtsâr, no. 1472. Ibnu Hibbân, no. 3696, 3697 – at-Ta’lîqâtul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibban. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Kitâbus-Sunnah, no. 110, Tahqîq: Syaikh Salim al-Hilali. Ad-Dâraquthni, II/534, no. 2668 dan II/535, no. 2670, dan Ibnu Jarir dalam Jâmi’ul-Bayân, no. 12808] Hadits tersebut dari jalur lain diriwayatkan ad-Dâruquthni, Ibnu Hibbân, dan Ibnu Khuzaimah, di dalamnya disebutkan, "Kemudian turunlah firman Allah Ta'ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.' [QS. Al-Mâidah: 101]. Diriwayatkan dari jalur lain bahwa ayat di atas turun setelah para sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang haji, "Apakah haji itu setiap tahun?" Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata,"Rasulullah berkhutbah kepada kami kemudian seseorang bertanya, 'Siapa ayahku?' Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Si Fulan.' Setelah itu turunlah ayat di atas." [HR al-Bukhâri, no. 4621, dan Muslim, no. 2359] Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim juga disebutkan hadits dari Qatâdah, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Orang2 bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mereka menekan beliau dalam pertanyaan mereka. Beliau marah kemudian naik mimbar dan bersabda, “Pada hari ini, tidaklah kalian menanyakan suatu apa pun kepadaku, melainkan aku akan menjelaskannya,” Seseorang yg jika berdebat dengan orang2, ia dipanggil dengan nama selain nama ayahnya sendiri lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, siapa ayahku?' Nabi bersabda, “Ayahmu ialah Hudzafah.” Umar bin al-Khaththaab bangkit lalu berkata, 'Kami ridho Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan berbagai fitnah.' Dan Qatâdah ketika menyebutkan hadits di atas, ia membaca firman Allah Ta'ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.'[QS. Al-Mâ-idah : 101]. [HR al-Bukhâri, no. 6362, 7089, 7294. Muslim, 2359 (137), dan Ibnu Jarîr ath-Thabari, no. 12799] Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan juga hadits dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Satu kaum bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud mengejek. Salah seorang dari mereka berkata, 'Siapa ayahku?' Orang yg untanya tersesat berkata, 'Di mana untaku?' Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian'." [QS. Al-Mâ-idah: 101]. [HR al-Bukhâri, no. 4622, dan Ibnu Jarîr ath-Thabari, no. 12798] Hadits2 diatas juga melarang kaum Muslimin menanyakan banyak hal tentang halal dan haram, boleh atau tidaknya suatu amalan atau suatu hal, karena jawabannya dikhawatirkan menjadi turunnya perintah keras di dalamnya, misalnya bertanya tentang haji, apakah haji wajib setiap tahun atau tidak. Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqâsh bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ. Sesungguhnya kaum Muslimin yg paling besar dosanya ialah orang yg menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian sesuatu tersebut diharamkan dengan sebab pertanyaannya itu. [HR al-Bukhâri, no. 7289. Muslim, no. 2358. Ahmad, I/176, 179. Abu Dâwud, no. 4610, dan Ibnu Hibbân, no. 110] Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang li'an (suami-istri saling melaknat dengan sebab tuduhan berzina), (lihat an-Nûr/24 ayat 6-9) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka dengan pertanyaan seperti itu hingga penanya mendapatkan musibah karenanya sebelum menjatuhkannya pada istrinya. [Musnad al-Imam Ahmad, II/19, 42. Shahîh Muslim, no. 1493. Sunan at-Tirmidzi, no. 1202, dan Shahîh Ibni Hibban, no. 4272] Seseorang bertanya kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma tentang mengusap Hajar Aswad. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang tersebut, "Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Hajar Aswad dan menciumnya." Orang tersebut berkata, ‘Bagaimana pendapatmu kalau aku tidak bisa melakukannya?, Bagaimana pendapatmu kalau aku didesak?’ Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang tersebut: "Letakkan kata-kata 'bagaimana pendapatmu' di Yaman. Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap Hajar Aswad dan menciumnya”. [HR at-Tirmidzi, no. 861. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhâri, no. 1611, dan an-Nasâ`i, V/230-231] Maksud perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ialah hendaklah engkau hanya mempunyai semangat untuk mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak usah memperkirakan tidak akan mampu melakukannya atau mempersulitnya sebelum terjadi karena hal tersebut melemahkan semangat untuk mengikuti beliau. Sebab, mempelajari agama dan bertanya tentang ilmu itu akan dipuji jika untuk diamalkan, dan bukannya untuk perdebatan. عن أبي ثعلبة الخشني جرثوم بن ناشر – رضي الله عنه – عن رسول الله صلى الله علية وسلم قال : " إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيعوها،وحد حدودا فلا تعتدوها، وحرم أشياء فلا تنتهكوها ، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها ". حديث حسن رواه الدارقطني وغيره Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya”. (HR. Daraquthni dalam Sunannya no. 4/184 hadits hasan, dalam Arbain Nawawi hadits yg ke-30) Diantara pertanyaan2 yg dilarang dan dapat membinasakan ialah sebagai berikut. 1. Bertanya tentang hal2 yg didiamkan oleh syariat (tidak ada dalil perintah dan larangan) dan tidak dijelaskannya, karena Allah Ta’ala yg berhak menjelaskan hal2 yg membuat manusia bahagia di dunia dan akhirat. Dan Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia mendiamkan beberapa perkara adalah sebagai rahmat dan bukan karena Allah lupa menjelaskannya, dan kita dilarang membicarakannya/memperdebatkannya. 2. Bertanya tentang hal2 yg tidak ada manfa’atnya dan tidak adanya kebutuhan. Karena, bisa jadi jawabannya tersebut akan berakibat buruk kepada orang yg bertanya. 3. Bertanya dengan tujuan untuk menghina, mengejek, memperolok-olok, dan kesia-siaan. 4. Banyak bertanya mengenai masalah2 yg belum terjadi. 5. Bertanya dengan pertanyaan yg bersifat memaksa, menyusahkan, dan mengada-ada. Sebab, terkadang jawabannya akan banyak sehingga sulit untuk mengamalkannya, sebagaimana yg terjadi pada Bani Israil ketika mereka disuruh untuk menyembelih seekor sapi betina. 6. Bertanya tentang hal2 yg Allah Ta’ala sembunyikan dari para hamba-Nya dengan sebab adanya hikmah yg hanya diketahui oleh Allah Ta’ala saja, contohnya bertanya tentang rahasia takdir, waktu terjadinya hari Kiamat, hakikat ruh, dan yg sepertinya. Adapun selain itu, maka bertanya tersebut dituntut menurut syariat. Allah Ta’ala berfirman: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. An-Nahl : 43]. Kesimpulannya, barang siapa mengerjakan apa saja yg diperintahkan Allah Ta’ala dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjauhi apa saja yg dilarang, dan tidak mempermasalahkan perkara atau amalan yg tidak ada perintah dan larangannya baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak membicarakannya atau memperdebatkannya sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits2 diatas, maka isya Allah akan selamat di dunia dan akhirat. Ingatlah bahwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam diatas bahwa “Allah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya.” Wallahu a’lam bis-Shawab Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin والله الموفق الى اقوم الطر