Kamis, 01 Desember 2016

Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku

Pengertian Dari Kalimat, “Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.” ~ Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i ~ Perkataan Imam mazhab yang empat yang sering disalah pahami adalah seperti perkataan dari al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah: إِنْ صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ “Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.” Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafi'i, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'i maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafi'i, terutama dalam penguasaan ilmu hadits. Perkataan al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah tersebut adalah contoh sikap tawadhu atau rendah hati. Beliau hanya ingin mengingatkan kita bahwa mengikuti pendapat mereka tetap merujuk kepada dari mana mereka mengambilnya yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah menghafal dan mendapatkan hadits langsung dari para Salafush Sholeh. Beliau melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh. Hadits-hadits yang dihafal dan diketahui oleh beliau LEBIH BANYAK dari hadits yang telah dibukukan. Bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tetap bertalaqqi (mengaji ) dengan ulama-ulama bermazhab. Jadi aneh kalau ada ulama yang berpendapat bahwa dia telah menemukan sebuah hadits shahih pada suatu kitab sehingga tidak perlu mengikuti pendapat Imam Mazhab yang empat. Haditsnya shahih, namun pemahaman mereka terhadap hadits tersebut yang menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat. Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, sedangkan Al-Syafi’i TIDAK TAHU terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita HARUS MENGIKUTI hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut TELAH DIKETAHUI oleh Al-Imam Al-Syafi’i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti ditegaskan oleh Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1 / 64. Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab Al-Syafi’i, di mana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab Al-Syafi’i, berdasarkan pesan Al-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh Al-Imam Al-Syafi’i. Al-Imam Al-Hafizh Ibn Khuzaimah Al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam Al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh Al-Imam Al-Syafi’i dalam ijtihad beliau ? Ibn Khuzaimah menjawab, “TIDAK ADA”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer Al-Bidayah wa Al-Nihayah (juz 10, hal. 253). Untuk lebih memahaminya, ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafi'i tersebut. Imam Nawawi mengatakan : وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك “Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafi'i dan langsung mengamalkan dhahir hadits. WASIAT INI HANYA DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG TELAH MENCAPAI DERAJAT IJTIHAD DALAM MAZHAB, sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafi'i tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii TIDAK MENGETAHUI HADIST TERSEBUT ATAU TIDAK MENGETAHUI KESAHIHAN HADISTNYA. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafi'i dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafi'i mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64) Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafi'i tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan. Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafi'i ini dengan kata beliau وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث “Tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah) Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafi'i tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafi'i tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafi'i meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafi'i dan shahabat beliau. IMAM NAWAWI YANG HIDUP DI ABAD KE-6 HIJRIAH MENGAKUI SULITNYA MENDAPATI ORANG YANG MENCAPAI DERAJAT INI, JADI BAGAIMANA DENGAN KITA YANG HIDUP JAUH DARI ZAMAN IMAM NAWAWI ? ----------------------------------------------------- Tentang wawasan Imam Syafi'i dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal : ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي “Tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafi'i." (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr). Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafi'i memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad : يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث “Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.” Imam Ahmad menjawab : إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه “Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr). Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafi'i tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafi'i meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafi'i hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama Mazhab Syafi'i yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafi'i yang menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafi'i memiliki hujjah yang kuat dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95). Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits shahih sedangkan pendapat Imam Syafi'i sebaliknya maka ia langsung mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir hadits. Selain itu perkataan Imam Syafi'i tersebut bukanlah berarti sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam Syafi'i yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau, kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafi'i kepada murid-murid mereka sehingga mazhab Syafi'i tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila Imam Syafi'i semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam Syafi'i melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid. Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada Al-Qur'an dan hadits langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Rafi'i dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafi'i. Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada Al-Qur'an dan hadits hanyalah ajakan untuk mengikuti pemahaman Al-Qur'an menurut mereka yang berarti mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits, ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada mereka juga. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan santun.