Kamis, 22 Desember 2016

SALAFUSSHOLEH

Generasi Salafus Sholeh Siapa yang menginginkan husnul khatimah (mati dalam iman), jagalah selalu sangka baik kepada semua manusia. (Imam Syafi'i) ULAMA SALAFY: KEDUA ORANG TUA NABI SAW SELAMAT DI AKHIRAT Fatwa Syaikh Assyinqiti -Ulama rujukan Salafiyyin – bahwa orang tua Nabi Muhammad saw adalah ahli surga ( Sumber: Kitab Majlis Ilmu bersama Syaikh Muhammad Al Amin Assyinqiti, Hal: 40, penulis ahmad bin muhammad al amin bin ahmad assyinqiti ). Adalah Halaqah Ilmu beliau di masjid Madinah Nabawi, satu-satunya majlis yg ada di sana, karena kalau di mulai majelis ilmu beliau hampir semua majlis yg ada ikut bergabung mengambil faedah. Syaikh Assyinqiti mengatakan bahwa orang tua nabi ahli surga, karena mereka termasuk ahli fatrah lalu beliau menjelaskan hukum hukum yg terkait dengan ahli fatrah. Suatu hari, syaikh Assyinqiti di undang kerumah syaikh Abdullah Azzahim, ketika sampai beliau di sambut hangat oleh syaikh Abdullah dan syaikh Assyinqiti di persilahkan duduk di sebelahnya. Di majlis itu hadir juga para hadirin dari kalangan ahli ilmu, masing-masing mereka membawa buku pegangan. Setelah selesai salam salaman, syaikh Abdullah memperlihatkan kepada syaikh Assyinqiti buku syarah Imam Nawawi tentang hadits – sesungguhnya bapak ku dan bapak kamu masuk neraka. Syaikh assyinqiti berkata: saya sudah tahu hadits ini. Syaikh abdullah azzahim berkata: kemaren antum menyampaikan di pengajian Nabawi bahwa kedua orang tua nabi termasuk ahli fatrah. Syaikh Assyinqiti menjawab: iya. Karena jawaban saya berdasarkan al Qur’an yg qot’iy matan dan qot’iy dilalah, saya tidak bisa menolak nash yg qot’iy matan dan qot’iy dilalah dengan nash yg zhanniy matan dan zhanniy dilalah ketika mentarjih, hadits ini termasuk khabar ahad. Sama dengan hadits Abi Hurairah riwayat Muslim: saya minta izin ke Allah utk mengunjungi ibuku saya diberi izin, lalu saya minta kepada allah utk di ampuni dosa nya namun tidak diizinkan. hadits diatas zhanniy matan maka tidak bisa menolak qot’iy matan yaitu firman Allah: ( al isra’: 15)ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَث رَسُولًا “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” jelas sekali ayat diatas qot’iy matan dan qot’iy dilalah. Berbeda dengan hadits: إن أبي وأباك في النار، hadits ini zhanniy matan dan zhanniy dilalah. Ada kemungkinan أبي maknanya paman nabi: Abu Thalib. Karena orang arab kadang kadang memanggil paman dengan الأب، bisa kita temukan pemakaian ini di dalam al quran: 1. Qot’iy matan dan qot’iy dilalah: Al Baqarah: 133: قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيم َ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ Mereka menjawab, “Kami akan me­nyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Nabi Ismail adalah pamannya nabi Ya’qub. Clear: Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim. 2. Qot’iy matan dan zhanniy dilalah: Al An’am:84-86. وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (84) وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِنَ الصَّالِحِينَ (85) وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطًا وَكُلًّا فَضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ (86) “Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami berikan petunjuk dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk.

Jumat, 16 Desember 2016

KITAB FIQIH MUHAMMADIYYAH

KITAB FIQIH MUHAMMADIYYAH KARYA KH. AHMAD DAHLAN (Al-Marhum Al-Maghfur Lahu) ============= GURU DAN AMALIAH KH. AHMAD DAHLAN (MUHAMMADIYYAH) DAN KH. HASYIM AS’ARI (NU) ADALAH SAMA TIADA PERBEDAAN ============= Tulisan kali ini hendak mempertegas tulisan kami yang telah lalu berjudul“Sejarah Awal Muhammadiyah yang Terlupakan”, dimana banyak dari kita belum tahu atau sengaja melupakan sejarah awal Muhammadiyyah. Secara ringkas kami katakan bahwa, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri). Berikut kami kutip kembali ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah”, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah kedua ulama besar di atas tidak berbeda: 1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha...” (halaman 25). 2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...” (halaman 25). 3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim”(halaman 26). 4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27). 5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29). 6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42). 7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50). 8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60). KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i. Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah. Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Dipesantren ini, Mohammad Darwisditemukan dengan Hasyim Asy’ari.Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat. Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama. Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”. Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah. Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya. Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah.Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul 'Ulama'). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya. Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih. Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Saw. Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak. Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.” Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyahbukan Dahlaniyyah”. Masihkah diantara kita yang gemar mencela dan mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul Ulama' sebagai amalan bid’ah, musyrik dan sesat? Semoga penjelasan ini mencerahkan kita semua dan bermanfa'at, Amiin Kitab Fiqih KH.Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah

Kamis, 08 Desember 2016

TABUR BUNGA DI KUBURAN

Dalil Menabur Bunga Di Kuburan Menabur Bunga di Atas Makam Setelah mayit atau jenasah dimasukkan ke liang lahat, dihadapkan ke arah kiblat, lalu pocongnya dibuka dan sudah diadzani, lantas liang ditutup rata dengan tanah. Setelah itu ditaburkan bunga di atasnya. Bunga tadi disiram air agar tidak cepat layu, namun bukan ditujukan sesuatu yang berbau mistik. Sebenarnya tidak harus bunga, pelepah atau ranting-ranting pun boleh, yang penting masih basah atau segar. Hal ini senafas dengan ayat Al-Qur'an QS At-Taghabun ayat 1: يُسَبِّحُ لِلّهِ مَا فِي السَّموَاتِ وَ مَا فِي اْلأَرْضِ Bahwa Semua makhluk, termasuk hewan dan tumbuhan, bertasbih kepada Allah SWT. Akan tetapi, mengenai cara masing-masing membaca tasbih, hanya Allah saja yang tahu. Dan terkait dengan tabur bunga tadi, dihimbau penabumya memilih bunga­-bunga yang masih segar agar bisa memberi “manfaat” bagi si mayit, sebab bunga-bunga tadi akan bertasbih kepada Allah. Hal ini berdasar pada, pertama penjelasan dari kitab Kasyifatus Syubhat hlm. 131: Bahwa disunnahkan meletakkan pelepah daun yang masih hijau di atas kubur/makam karea mengjkuti sunnah Nabi (hadits ini sanadnya shahih). Dijelaskan bahwa pelapah seperti itu dapat meringankan beban si mayit berkat bacaan tasbihnya. Untuk memperoleh tasbih yang sempurna, sebaiknya dipilih daun yang masih basah atau segar. Analog dengan meletakkan pelepah tadi ialah mencucurkan bunga atau sejenisnya. Pelapah atau bunga yang masih segar tadi haram diambil karena menjadi hak si mayit. Akan tetapi, kalau sudah kering, hukumnya boleh lantaran sudah bukan hak si mayit lagi (sebab pelapah, bunga, atau sejenisnya tadi sudah tidak bisa bertasbih). Dalil kedua yakni hadits Ibnu Hibban dari Abu Hurairah yang mengatakan: “Kami berjalan bersama Nabi melewati dua makam, lalu beliau berdiri di atas makam itu, kami pun ikut berdiri. Tiba-tiba beliau meyingsingkan lengan bajunya, kami pun bertanya: ‘Ada apa ya Rasul?’” “Beliau menjawab: ‘Apakah kau tidak mendengar?’ Kami menjawab heran: Tidak, ada apa ya Nabi? Beliau pun menerangkan: ‘Dua lelaki sedang disiksa di dalam kuburnya dengan siksa yang pedih dan hina.’ Kami pun bertanya lagi: Kenapa bisa begitu ya RasuI? Beliau menjelaskan: ‘Yang satu, tidak bersih kalau membasuh bekas kencing; dan satunya lagi suka mencaci orang lain dan suka mengadudomba.’ "Rasulullah lalu mengambil dua pelapah kurma, diletakkan di atas kubur dua lelaki tadi. Kami kembali bertanya Apa gunanya ya Rasul? Beliau menjawab: ‘Gunanya untuk meringankan siksa mereka berdua selagi masih basah.’” Demikian seperti dijelaskan dalam kitab I’anatut Thalibin Juz II hlm 119. Dalil ketiga: Para ulama menjadikan kasus Rasulullah menancapkan dua pelepah kurma yang ditancapkan di alas dua kubur tadi dengan menanam pohon atau bunga, sayang para ulama tidak menjelaskan caranya. Akan tetapi, di dalam hadits shahih disebutkan: Rasulullah menancapkan di masing-masing kuburan itu dan tetap memberi manfaat pada semua ruang. Maksudnya, pelapah itu dapat ditancapkan di mana saja. Abd bin Humaid dalam Musnad-nya mengatakan: Rasulullah menancapkan pelapah itu tepat di arah kepala si mayit dalam kuburnya. Demikian penjelasan dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyah hal 196.

Kamis, 01 Desember 2016

Hari, Bulan Dan Amalan Yang Baik

Maqolah Sayyidina Ibni Abbas RA : - Sebaik-baiknya hari adalah hari jum'at. - Sebaik-baiknya bulan adalah bulan ramadhan. - Sebaik-baiknya amal adalah sholat fardhu lima waktu. Maqolah Sayyidina Ali karromallahu wajhahu : Jika ulama' hukama dan fuqoha ditanya tentang hal tersebut, niscaya mereka akan menjawab sebagaimana Ibni Abbas menjawab, kecuali aku akan menjawab nya : - Sebaik-baiknya amal adalah amalan yang diterima Allah SWT, baik sedikit ataupun banyak. - Sebaik-baiknya bulan adalah bulan dimana engkau melakukan Taubat Nashuha. - Dan sebaik-baik hari adalah hari dimana engkau meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan beriman kepada Allah SWT. *📚Referensi :* Nashoihul Ibad : hal 16 و ) المقالة الاربعون ( عن ابن عباس رضى الله عنهما حين سئل خير الايام و ما خير الشهور و ما خير الاعمال؟ فقال) اى عبد الله بن عباس ( خير الايام يوم الجمعة) لانه سيد الايام اعطاه الله تعالى لهذه الامة المحمد ( و خير الشهور شهر رمضان) لانه انزل فيه القران و فيه ليلة القدر و فيه الصيام الواجب و لان ثواب النفل فيه كثواب الفرض…( و خير الاعمال الصلوات الخمس لوقتها) فانها ابواب الاعمال فاذا فتحت الصلوات فتحت سائر الاعمال و اذا سدت سدت...فقال على رضى الله عنه) و كرم وجهه (لو سئل العلماء و الحكماء و الفقهاء من المشرق الى المغرب) عن تلك المسائل الثلاث ( لاجابوا بمثل ما اجاب به ابن عباس الا انى اقول) فى جواب ذلك ( ان خير الاعمال ما يقبل الله تعالى منك) سواء كانت قليلة او كثيرة ( و خير الشهور ما تتوب فيه الى الله توبة نصوحا)…(و خير الايام مت تخرج فيه من الدنيا الى الله) تعالى بالموت ( مؤمنا بالله)

Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku

Pengertian Dari Kalimat, “Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.” ~ Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i ~ Perkataan Imam mazhab yang empat yang sering disalah pahami adalah seperti perkataan dari al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah: إِنْ صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ “Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.” Semua ulama sepakat bahwa kalam tersebut benar-benar wasiat Imam Syafi'i, tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini? Apakah setiap pelajar yang menemukan sebuah hadits yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'i maka pendapat Imam Syafii tidak dapat di terima. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafi'i, terutama dalam penguasaan ilmu hadits. Perkataan al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah tersebut adalah contoh sikap tawadhu atau rendah hati. Beliau hanya ingin mengingatkan kita bahwa mengikuti pendapat mereka tetap merujuk kepada dari mana mereka mengambilnya yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah menghafal dan mendapatkan hadits langsung dari para Salafush Sholeh. Beliau melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh. Hadits-hadits yang dihafal dan diketahui oleh beliau LEBIH BANYAK dari hadits yang telah dibukukan. Bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tetap bertalaqqi (mengaji ) dengan ulama-ulama bermazhab. Jadi aneh kalau ada ulama yang berpendapat bahwa dia telah menemukan sebuah hadits shahih pada suatu kitab sehingga tidak perlu mengikuti pendapat Imam Mazhab yang empat. Haditsnya shahih, namun pemahaman mereka terhadap hadits tersebut yang menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat. Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan Al-Imam Al-Syafi’i, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, sedangkan Al-Syafi’i TIDAK TAHU terhadap hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita HARUS MENGIKUTI hadits tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i. Akan tetapi apabila hadits tersebut TELAH DIKETAHUI oleh Al-Imam Al-Syafi’i, sementara hasil ijtihad beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti ditegaskan oleh Al-Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1 / 64. Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan Al-Imam Al-Hafizh Ibn Al-Jarud, seorang ulama ahli hadits bermadzhab Al-Syafi’i, di mana setiap ia menemukan hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad Al-Imam Al-Syafi’i, Ibn Al-Jarud langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab Al-Syafi’i, berdasarkan pesan Al-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah diketahui atau belum oleh Al-Imam Al-Syafi’i. Al-Imam Al-Hafizh Ibn Khuzaimah Al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam Al-Aimmah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh Al-Imam Al-Syafi’i dalam ijtihad beliau ? Ibn Khuzaimah menjawab, “TIDAK ADA”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer Al-Bidayah wa Al-Nihayah (juz 10, hal. 253). Untuk lebih memahaminya, ada baiknya kita lihat bagaimana komentar Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ terhadap wasiat Imam Syafi'i tersebut. Imam Nawawi mengatakan : وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك “Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah mazhab Syafi'i dan langsung mengamalkan dhahir hadits. WASIAT INI HANYA DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG TELAH MENCAPAI DERAJAT IJTIHAD DALAM MAZHAB, sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafi'i tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii TIDAK MENGETAHUI HADIST TERSEBUT ATAU TIDAK MENGETAHUI KESAHIHAN HADISTNYA. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafi'i dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafi'i mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmuk Syarh Muhazzab Jilid 1 hal 64) Dari komentar Imam Nawawi ini sebenarnya sudah sangat jelas bagaimana kedudukan wasiat Imam Syafi'i tersebut, kecuali bagi kalangan yang merasa dirinya sudah berada di derajat mujtahid mazhab yang kata Imam Nawawi sendiri pada zaman beliau sudah sulit di temukan. Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafi'i ini dengan kata beliau وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث “Tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti hal 54, dar Ma’rifah) Hal ini tak lain karena wawasan Imam Syafi'i tentang hadits yang sangat luas, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadits shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafi'i tidak mengetahui adanya hadits tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadits. Karena boleh jadi Imam Syafi'i meninggalkan hadits shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadits tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab Imam Syafi'i dan shahabat beliau. IMAM NAWAWI YANG HIDUP DI ABAD KE-6 HIJRIAH MENGAKUI SULITNYA MENDAPATI ORANG YANG MENCAPAI DERAJAT INI, JADI BAGAIMANA DENGAN KITA YANG HIDUP JAUH DARI ZAMAN IMAM NAWAWI ? ----------------------------------------------------- Tentang wawasan Imam Syafi'i dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal : ما أحد يعلم في الفقه كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي “Tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali Imam Syafi'i." (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr). Imam Ahmad bin Hanbal juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafi'i memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad : يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث “Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal), tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.” Imam Ahmad menjawab : إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه “Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.” (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr). Dalam sejarah ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafi'i tersebut seperti Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafi'i meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafi'i hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa ulama Mazhab Syafi'i yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafi'i yang menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah mendapati bahwa pendapat Imam Syafi'i memiliki hujjah yang kuat dan tidak menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi “Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95). Maka dari penjelasan para ulama-ulama yang kami kutip di atas, bisa kita lihat bahwa tidaklah serta merta ketika seseorang menemukan satu hadits shahih sedangkan pendapat Imam Syafi'i sebaliknya maka ia langsung mengklaim bahwa pendapat Imam salah dan harus mengamalkan seperti dhahir hadits. Selain itu perkataan Imam Syafi'i tersebut bukanlah berarti sebagai larangan taqlid kepada beliau, sebagaimana sering di dengungkan oleh kalangan “anti taqlid kepada Imam mujtahid”. Murid-murid Imam Syafi'i yang belajar langsung kepada beliau masih taqlid kepada beliau, kemudian mereka juga mengajarkan fiqh Mazhab Syafi'i kepada murid-murid mereka sehingga mazhab Syafi'i tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bila Imam Syafi'i semasa hidup beliau telah melarang taqlid kepada beliau tentunya mazhab beliau tidak akan tersebar, karena para murid-murid beliau tidak mengajarkan mazhab beliau tetapi mazhab mereka masing-masing. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa Imam Syafi'i melarang taqlid kepada beliau hanya muncul belakangan semenjak lahirnya kaum anti taqlid kepada Imam Mujtahid. Perlu di ingatkan bahwa ajakan berpegang kepada Al-Qur'an dan hadits langsung dan meninggalkan pendapat mujtahid merupakan yang hal berbahaya, karena nantinya setiap insan akan berani memahami ayat dan hadits dengan kepala mereka sendiri dengan sangkaan bahwa ilmu mereka cukup cukup untuk berijtihad, padahal ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Rafi'i dan Ibnu Hajar al-Haitami dan ulama besar lainnya ternyata masih bertaqlid kepada mazhab Syafi'i. Pada hakikatnya, ajakan kembali kepada Al-Qur'an dan hadits hanyalah ajakan untuk mengikuti pemahaman Al-Qur'an menurut mereka yang berarti mengajak untuk taqlid kepada mereka semata dan meninggalkan taqlid kepada para imam mazhab yang telah di ikuti oleh umat ratusan tahun lamanya. Makanya di sini kami menyebutkan mereka dengan golongan “anti taqlid kepada Imam Mujtahid” karena ketika mereka mengajak meninggalkan mazhab dan menawarkan solusi kembali kepada al-quran dan hadits, ternyata penafsiran al-quran dan hadits yang mereka tawarkan adalah penafsiran versi mereka, artinya akan terjatuh kepada taqlid kepada mereka juga. Wallahu a’lam bish-shawabi.